
Idemuslim.com, OPINI — Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan. Sesuai peraturan Jaksa Agung RI nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative.
“Sampai dengan awal Mei 2022, kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restorative, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restorative dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” kata Fadil dalam keterangan tertulisnya (detikcom, 23/5/2022)
Restorative justice (keadilan restoratif) adalah sebuah mekanisme penyelesaian kasus pidana diluar jalur pengadilan (non litigasi). Secara filosofis, metode ini dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Dalam pelaksanaannya, mekanisme Restorative Justice (RJ) pada hukum pidana, mengalihkan penyelesaian kasus pidana dari prosedur legal formal menjadi dialog ataupun mediasi. Proses ini mempertemukan para pihak yang berperkara. Pihak yang terkait, yakni keluarga dari pihak pelaku maupun korban, melakukan dialog, mencari penyelesaian atas perkara pidana yang terjadi, serta mengakomodir kepentingan para pihak.
Dalam menjalankannya, menurut Fadil, pendekatan restoratif justice memiliki tiga poin penting yang mesti diperhatikan. Pertama, keadilan restoratif mesti memperkuat kohesi sosial antar anggota masyarakat. Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga, penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan prilaku yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabilitir dirinya.
Baca Juga :
- Telaah Fakta Akhir Zaman & Solusi Islam
- Pengarusutamaan Gender, Solusi Utopis Masalah Perempuan dan Anak!
- Mereka yang Terlupa di Suka Cita Ramadhan
- Tarawih Muslimah, Di Mesjid atau di Rumah?
Restorative justice, menampilkan sisi lain hukum pidana, yang biasanya hanya mengejar keadilan subtantif, menjadi lebih humanis, karena berupaya mencari jalan tengah dalam penyelesaian perkara yang dirasa “adil”, baik bagi tersangka maupun korban . Ditambah lagi, ditengah tingginya tindak pidana yang terjadi, penyelesaian kasus pidana melalui jalur legal formal dinilai hanya akan menambah kepadatan penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang saat ini sudah over capacity. Maka “wajar”, jika konsep restorative justice dipilih untuk “penyelesaian” 1070 kasus pidana. Apalagi jika mengkaji, besarnya anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai narapidana yang jumlahnya luarbiasa banyak. Sungguh sangat membebani kas negara, maka, tidak heran jika penghentian kasus pidana dan mengalihkannya ke jalur restorative justice menjadi pilihan.
Namun, restorative justice yang saat ini digunakan dalam penyelesaian perkara pidana ringan, kini mulai dicoba untuk digunakan dalam penyelesaian kasus pidana korupsi dibawah Rp.50 juta. Hal ini disampaikan oleh Jaksa Agung, ST Burhanuddin dalam peringatan Hari Adhyaksa ke-61 pada bulan maret yang lalu. Burhanuddin mengatakan, “Dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial, maka menurut hemat saya, penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial,”. Oleh sebab itu, dalam penyelesaian kasus korupsi yang menggunakan instrumen finansial mengedepankan pendekatan follow the Money dan follow the assets daripada follow the suspect.
Pendapat Jaksa Agung ini, justru terdengar ganjil, ditengah upaya pemberantasan korupsi. Menggunakan dalih penerapan restorative justice, penegak hukum seolah menggelar karpet merah bagi para pencuri berdasi, dengan dalih mengembalikan uang negara, sementara, berapa pun nilainya dianggap tindak pidana korupsi jelas termasuk extraordinary crime yang tidak pantas dihentikan proses hukumnya melalui jalur restorative justice. Oleh karena itu, mengalihkan proses legal formal pidana korupsi ke jalur restorative justice sungguh sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Restorative Justice, Kemandulan Sistem Hukum dan Utopia Keadilan dalam Sistem Kapitalis.
Restorative justice, membuka tabir kebobrokan sistem hukum saat ini. Sistem legal formal yang seharusnya mampu mewujudkan keadilan dan memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan, seolah gagal menunjukkan taringnya. Fakta membuktikan, bahwa tingkat kriminalitas semakin tinggi. Tidak ada lagi ketakutan dalam masyarakat saat melanggar hukum. Mirisnya, telah muncul miskonsepsi dalam benak sebagian masyarakat, bahwa hukum bisa dibeli. Maka tidak heran, istilah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dalam masyarakat telah diubah menjadi Kasih Uang Habis Perkara.
Ironisnya,berharap keadilan lewat jalur legal formal ibarat seperti mencari jarum dalam jerami. Sulit sekali, bahkan utopis diwujudkan. Jika yang menjadi panglima dalam penegakkan hukum saat ini adalah uang. Benarlah kata pepatah Batak, Hepeng do na mangatur negara on (uang yang mengatur negara).
Merindu Keadilan dalam Bingkai Islam
Islam adalah agama sempurna, yang mengatur aspek kehidupan. Islam, tidak hanya mengatur Hablumminallah (Hubungan manusia dengan Allah, Sang Pencipta), tapi juga Hablumminannaas (Hubungan manusia dengan sesamanya ) dan Hablumminannafsi (Hubungan manusia dengan dirinya sendiri).
Sistem hukum pidana, masuk dalam cakupan Hablumminannaas, maka seorang muslim wajib terikat pada aturannya. Hukum pidana islam, baik hudud, jinayah, ta’zir maupun mukhalafah memberikan sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Sanksi tegas tersebut, mampu memberikan efek jera, hingga dapat mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama (zawajir). Maka tidak heran, saat sistem islam diterapkan, tingkat kejahatan sangat rendah. Sanksi pidana islam juga berfungsi sebagai penebus (jawabbir) agar kelak apabila telah mendapat sanksi di dunia, maka akan terlepas dari sanksi di akhirat).
Sistem legal formal pidana islam, juga memberikan jaminan terwujudnya rasa keadilan masyarakat. Equality before the law, tak hanya menjadi sekedar jargon. Sejarah mencatat, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan Baju besinya karena dicuri oleh seorang Nasrani. Dihadapan pengadilan, Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak mampu menghadirkan saksi yang menguatkan alibinya bahwa baju besi tersebut adalah miliknya, karena yang diajukan menjadi saksi adalah anaknya sendiri, yang masih kecil dan budaknya. Kedua saksi tersebut tidak memenuhi kualifikasi untuk diterima kesaksiannya dimuka pengadilan, hingga akhirnya Qadhi Syuraih memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik orang Nasrani. Putusan ini, menggugah hati Nasrani tersebut untuk melihat keagungan dan keadilan sistem pidana islam. Walhasil, dia memutuskan untuk masuk kedalam islam.
Penggalangan kisah ini, membuktikan dalam islam keadilan mampu dimiliki semua orang, tanpa memandang strata social, apalagi agama. Demikianlah ketika aturan sang Pencipta yang diterapkan, keadilan dan rahmat dapat dirasakan oleh seluruh alam. Cukuplah firman Allah dalam Qur’an Surah Al-Maidah ayat 50 ini menjadi peringatan,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوْ قِنُوْنَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maa-idah : 50).
Wallahu’alam bishawwab.