Pendidikan Islam

Potret Pendidikan Islam, Penghasil Ulama & Para Ilmuwan Hebat

Oleh: Efendy Abdullah, S.Pd., CLMQ

Idemuslim.com, PENDIDIKAN ISLAM — Wajar saja ulama sekualitas Imam Syafi’I bermunculan di masa tersebut! Itulah kalimat yang pertama kali terucap dalam benak saya, tatkala membaca literatur sejarah pendidikan di masa Kejayaan Islam. Bermula dari didikan mulia nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya. Dilanjutkan oleh kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin, dan para Khalifah setelahnya. Memunculkan kekaguman tersendiri bagi kita yang hidup di jaman ini, tentang begitu hebatnya kepemimpinan yang berlandaskan syariat Islam tersebut. Muslim maupun non muslim, hidup berdampingan dengan damai. Mereka mendapatkan hak-hak yang sama dalam Islam, termasuk dalam Pendidikan.

Salah satu kebijakan Khilafah Islamiyah saat itu menggambarkan betapa para pemimpinnya tau betul tentang makna hadist Rasulullah:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya, “Menuntut ilmu agama adalah kewajiban atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224)

Dalam kitab Ta’lim Muta’allim dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dipelajari, adalah ilmu agama. Ilmu seputar tauhid, fiqh ibadah seperti thaharah, sholat, dzakat, puasa, fiqh muamalah, ahlak dan lainnya. Para ulama mengatakan hukum mempelajarinya ialah fardhu ‘ain. Adapun ilmu agama yang dikerjakan pada saat-saat tertentu semisal sholat jenazah dan sebagainya dihukumi fardhu kifayah. Ilmu sains & teknologi yang berkaitan tentang kemaslahatan dan kemajuan peradaban Islam, juga dihukumi demikian. Mesti ada diantara kaum muslim yang menguasai ilmu tersebut! Jika tidak satupun yang menguasainya, maka seorang Khalifah berhak memberi kebijakan agar kaum muslimin menguasainya. Adapun ilmu yang dilarang dikuasai, yakni ilmu yang berkaitan tentang mensyirikkan Allah Ta’ala seperti ilmu nujum (falaq), kecuali dipelajari untuk mengetahui arah kiblat dan waktu-waktu sholat, maka dihukumi mubah.

 Atas dasar inilah, maka dalam Kitab Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, yang ditulis oleh al-Baghdadi disarikan, bahwa ada 3 point kebijakan Pendidikan di masa Kejayaan Islam :

  1. Negara memberi jaminan Pendidikan secara cuma-cuma (gratis), dan
  2. Kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara (muslim maupun non muslim) untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana & prasarana) sebaik mungkin
  3. Memberikan kesejahteraan dan gaji para pendidik (guru, mualim) dengan memperhatikan tugas berat yang dipikul oleh mereka

Ad-Damsyiqy mengisahkan dari al-Wadliyah bin Ataha’ terkait point yang ketiga ini, bahwa di era kepemimpinan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau memberikan gaji 3 orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah, masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulannya (1 dinar = 4,25 gram emas). Atau setara dengan  Rp 54.000.000, dengan menggunakan konversi emas antam 2021, 1 dinar (4,25 gr) seharga Rp 3.600.000,-

Al-Badri menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, bahwa seorang Kepala Negara (Khalifah) berkewajiban memenuhi sarana – sarana Pendidikan, hingga memberikan upah (gaji) yang menjamin kesejahteraan para guru, sebagaimana ungkapan beliau :

“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.” (Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Ibnu Hazm, Juz V/116)

Berbeda dengan kronologis hari ini, guru adalah pekerjaan mulia namun banyak yang tidak memuliakannya. Gaji terkecil, adalah gajinya para guru. Sementara beban terbesar, ialah bebannya para guru. Sebab, profesi ini adalah profesi seumur hidup! Tatkala ia dikenal di sekolah sebagai seorang guru, maka tatkala ia menginjakkan kakinya keluar dari sekolah dan bercengkrama dengan masyarakat, tetaplah ia dianggap guru. Begitulah pola pandang murid kepada gurunya, sebagaimana pola pandang Imam Syafi’I pada Imam Malik bin Anas Rahimahullahu.

Sejak abad ke 4 Hijriah, telah banyak didirikan sekolah Islam. Rasulullah sendiripun memberi jaminan bebas bagi para tawanan perang badar, dengan syarat mereka bisa mendidik anak-anak dan warga kaum muslim yang buta baca tulis. Begitu besar perhatian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ilmu. Sebab, Ilmu adalah kunci ketakwaan, ilmu adalah pembebas kebodohan, kemunafikan, keterbelakangan, bahkan ada sebuah ungkapan dari ulama bahwa menuntut ilmu (belajar ilmu islam) lebih utama dari ibadah. Karena tidak diterima ibadah, kecuali memiliki landasan ilmu.

Muhammad Athiyah Al-Abrasi memaparkan dalam kitabnya tentang upaya serius para Khalifah membangun sekolah-sekolah Islam secara gratis. Pada setiap Universitas, dilengkapi dengan iwan (auditorium, Gedung pertemuan), asrama mahasiswa, perumahan  guru, dosen dan para ulama dengan sebaik-baiknya. Universitas tersebut, dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi. Sebut saja diantaranya :

  • Madrasah Nizhamiyah di Baghdad
  • Madrasah al-Munstanshiriyah di Baghdad didirikan oleh Khalifah al-Muntashir (abad ke-6)
  • Madrasah an-Nuriyah di Damaskus didirikan oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky (abad ke-6)
  • Madrasah an-Nashiriyah di Kairo, serta
  • Madrasah Darul Hikmah di Kairo didirikan oleh Khalifah al-Hakim Biamrillah pada tahun 395 H

Diberbagai madrasah yang kami sebutkan tersebut dilengkapi dengan berbagai  fasilitas yang lengkap bagi para siswa juga. Seperti rumah sakit, perpustakaan, pemandian, asrama siswa, aula besar untuk cerama Islam oleh para ulama dan sebagainya. Di Madrasah al-Munstanshiriah di kota Baghdad, para siswa diberikan beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram) yang dananya diambil dari Baitul Mal. Hal tersebut dilakukan untuk menunjang kualitas Pendidikan dan keseriusan para anak dalam belajar. Maka jangan heran, para ulama bermunculan di era tersebut. Bukan hanya mahir dalam ilmu agama, namun juga berkualitas dalam teknologi, seperti Ibnu Firnas, Al-Khawarizmi, Bani Musa Bersaudara, Ibnu Haitam dan sebagainya.

Tentu, Islam sangat mengutamakan Ilmu. Khususnya ilmu agama yang jelas-jelas mengantarkan muslim pada ridho Allah. Tidak mungkin akan bermunculan ulama semisal imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas atau Imam Ahmad bin Hambal, jika kualitas pendidikannya begitu buruk dan sekuler. Ingat, tidak ada siswa yang bodoh, sebab pada fitrahnya setiap manusia terlahir cerdas. Tergantung dimana mereka dididik, siapa yang mendidik, dan lingkungan seperti apa yang mendidik mereka. Dalam Islam, ilmu mendekatkan manusia pada keridhoan Allah, berbeda dalam pendidikan sekulerisme seperti saat ini, dimana ilmu mendekatkan manusia pada ketamakan, curang, dan sebagainya. Tentu bukan ilmunya yang salah, melainkan mindset kita tentu ilmu tersebut yang berbeda dulu dan sekarang. Wallahu ‘alam []

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button