Muslim Youth

Bolehkah Menjadi Muslim yang Biasa-Biasa Saja?

Oleh: Abdullah Efendy, S.Pd., CLMQ

Idemuslim.com, PENDIDIKAN ISLAM — Islam, sejak diturunkan kepada nabi yang mulia, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa berbagai kebaikan bagi manusia. Pemeluknya, yakni para muslim telah mendapatkan tuntunan yang komplit dan menenangkan hati, bagi setiap problematika kehidupan. Tuntunan dunia dan akhirat.

Islam, adalah risalah yang Allah turunkan di dunia sebagai peraturan hidup yang sangat terang sebagaimana yang telah disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an,

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (TQS. Al-Anbiya Ayat 107)

Tafsir dari ayat ini, sebagaimana yang diterangkan oleh Markaz Ta’dzhim Al-Qur’an (Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah) dibawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz yakni sebagai berikut :

وَمَآ أَرْسَلْنٰكَ (Dan tiadalah Kami mengutus) Yakni (Hai Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) Kami tidak mengutusmu dengan syariat-syariat dan hukum-hukum.

 إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِينَ (melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam) Yakni bagi seluruh manusia. Adapun bentuk rahmat bagi orang-orang kafir adalah mereka menjadi aman dari bencana, kutukan, dan kehancuran dengan adanya syariat-syariat dan hukum-hukum ini.

 

Islam sebagai sebuah religion issues & solution, telah mendapat perhatian menarik sejumlah pengamat. Baik dengan berbagai motif dan tujuan tertentu. Keberhasilan Islam dimasa lalu, sebagai sebuah bentuk tatanan kehidupan, telah menjadikan Eropa berdecak kagum padanya. Seorang Mark Zuckerberg saja kagum pada seorang ilmuwan muslim, bernama Al-Khawarizmi. Menurut founder Facebook ini, tanpa penemuan ilmu Algoritma oleh Al-Khawarizmi mustahil kita bisa mengenal Bahasa komputer hari ini. Islam tentu tidak boleh dibatasi pada perkara ibadah saja. Itulah mengapa dalam ilmu fiqh, tidak mencakup seputar ibadah, melainkan juga muamalah, munakahah, siyasah dan lainnya. Bab-babnya ditulis hingga ribuan halaman oleh para ulama kita, disertai tarjih dan syarah-nya. Pembahasan keilmuannya pun komplit, mulai dari ushul fiqh, ilmu fiqh, sirah, ulumul Qur’an, ulumul hadist, ta’rifat, dan lainnya.

Predikat Islam sebagai agama yang terbaik, telah Allah abadikan dalam Al-Qur’an sebagaimana surah Al Maidah: 03. Status agama terbaik ini, bukanlah sebuah pengakuan subjektif, melainkan dapat dibuktikan secara ilmiah. Para tokoh semisal Yusuf Estes, Ahmad Deedat, Dr. Zakir Naik, telah menjadi salah satu pioner pembuktian tersebut. Debat-debat ilmiah seperti ini, jika kita pandang sebagai opini positif membangun critical thingking dikalangan umat Islam, maupun umat lainnya adalah suatu hal yang baik. Memicu keinginan mencari tau, akan kebenaran agama yang kita bawa, bukan sekedar karena ikut status agama orang tua.

Dalam Al-Qur’an, selain predikat Islam sebagai agama yang terbaik, juga melabeli umatnya (kaum muslimin) sebagai manusia terbaik. Misalnya, sebagaimana yang Allah katakan dalam surah Ali Imran : 110 yang berbunyi :

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran Ayat 110)

Maka mahfum mukhalafah (makna kebalikan) dari kalimat ayat ini كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاس  , kita justru bukanlah umat biasa dan tidak boleh menjadi umat yang biasa-biasa saja. Begitulah sejarah Islam dituliskan dengan berbagai kegemilangan paradaban selama 14 abad. Maka menjadi sebuah istilah yang ridiculous (konyol), jika ada seorang muslim ingin menjadi muslim biasa. Sebab, kalimat ini tidak pernah terlontar dari para salaf, maupun khalaf. Justru, setiap mereka berlomba menjadi yang terbaik. Disaat Umar bin Khattab رضي الله عنه menyedekahkan separuh hartanya, Abu Bakar رضي الله عنه datang dengan menyedekahkan seluruh hartanya. Semua berlomba menjadi yang terbaik. Bahkan seorang Abu Ayyub Al Ansari رضي الله عنه, rela menempuh perjalanan jauh ke Konstantinopel demi merealisasikan Bisyarah Rasulullah, padahal usia beliau sudah tua renta. Ini mengindikasikan, mindset muslim tidak pernah ingin menjadi orang yang biasa.

Kemunduran taraf berfikir muslim, justru menjadi momok yang harus dikhawatirkan. Bayangkan, Ketika manusia diutus menjadi Khalifah di muka bumi, beserta peraturan (Islam) yang wajib dipatuhi, menurut anda manusia dari kalangan manakah yang akan menjalankannya? Apakah mungkin manusia dari kaum Yahudi? Nasrani? Kaum Musyirikin? Liberal? Para misionaris? atau kaum yang manakah? Tentu saja, mereka yang menyerahkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah (Muslim)

Bayangkan, jika muslim hari ini hanya berfokus pada shalat, puasa, sedekah, zakat, bangun masjid. Maka bagaimana dengan perkara muamalah? Tentang pengaturan Pendidikan Islam, Ekonomi Islam, Siyasah Islam, Pergaulan Islam, Waris, Syirkah, Hudud, Zinayat, Uqubat, Kepemimpinan dalam Islam dan lainnya? Bagaimana jika mereka hanya menjadi seorang muslim yang biasa? Yang bahkan memang tidak ada defenisi baku, apa sih yang dimaksud ‘muslim yang biasa’ itu? Sebab setahu kami, ada tingkatan level mulai dari muslim, mukmin, muhsinin, mukhlis dan muttaqin yang harus diraih! Mengindikasikan, tidak ada sikap stagnan dalam diri seorang muslim, ia harus menghadirkan ghirah (semangat) untuk terus lebih baik dalam beragama.

Jadi pertanyaannya, bukan bolehkah atau tidak bolehkah. Namun harusnya pertanyaanya, muslim seperti apa yang Allah inginkan? Sehingga kita memperoleh jawaban yang jelas dan menentramkan hati kita. Maka Allah Ta’ala menjawabnya dengan sangat lugas, sebagaimana Allah Firmankan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman menyeru para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir 1/335).

Maka sahabat, dimanakah posisi kita? Sudahkah kita meraih posisi muslim yang sebenarnya? Sesuai keinginan Allah? Menerapkan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan kita, bukan justru mengikuti muslim versi kita, yang sangat terbatas dan serba bimbang atas berbagai pilihan!

 

Tentu, disaat syariat Allah (Islam) diturunkan di muka bumi, maka secara otomatis ia pasti sesuai untuk diterapkan dalam segala hal. Tinggal apatah lagi, kesiapan kita, dakwah kita, persuasi kita, dan pengayoman kita yang mungkin kurang dalam mempelajari Islam dan mensyiarkan Islam. Sungguh, kita telah dipilih menjadi yang terbaik diantara manusia! Itu jaminan dari Allah. Lalu mengapa kita tidak yakin dengan jaminan itu? Wallahu ‘alam []

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button