Perbedaan Adalah Kekuatan!
Kita umat yang satu, Berbeda Bukan Berarti Berpecah!

oleh : Abdullah Efendy S.Pd., CLMQ
Idemuslim.com, OPINI — Sedih! Mungkin itu kata yang bisa mewakili perasaan kami, tatkala melihat geliat konten dakwah di social media hari ini. Atas nama saling memberikan klarifikasi, saling nasihat menasehati, saling menyanggah demi kebenaran dan kemaslahatan! Namun, justru ketika pola ini tidak disetir dengan baik, dan justru menguap begitu saja, akan sangat berbahaya. Ustadz A mengkritik Ustadz B. Begitupula sebaliknya ustadz B membela diri dan mengkritik kembali ustadz A. Slogan-slogan yang tak pantas pun kadang menjadi thumbnail, yang diharapkan memicu ketertarikan publik untuk menontonnya. Ada yang akhirnya merasa terpuaskan secara subjektif, ada yang tertawa saat ustadz yang lain kalah argumentasinya, adapula yang jenuh (saya) melihat semua ini seakan tiada akhir!
Fenomena ini, bermula dari memahami video sepotong-sepotong, efek domino dari saling tahdzir, hingga merasa pendapatnya paling benar. Umat Islam, harusnya kembali pada kaidah fiqh yakni Taqlil at-Takalif. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pada tempatnya, juga bisa jadi pemicu konflik ini. Akhirnya, perbedaan yang masih bisa didiskusikan seakan berubah menjadi perpecahan yang tak kunjung menuai temu. Silah ukhuwah menjadi renggang! Masalah utama kaum muslimin, akhirnya buyar karena masalah furu’. Hingga interpretasi Islam, dari sudut pandang non muslim yang terkesan terpecah dan buruk. Tentu, lagi-lagi kita harus interospeksi akan hal ini.
Pertanyaan besarnya, lalu bagaimanakah harusnya menyikapi perbedaan ini? Benarkah perbedaan akan menuai perpecahan?
Jika kita belajar dari kisah dakwah Rasulullah, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Berkat pertolongan Allah Ta’ala, melalui dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Islam justru mempersatukan setiap manusia. Antara Budak dan Tuan, antara Muhajirin dan Anshor, antara Aus dan Khajraj, antara Arab dan non Arab, semua bersatu padu dalam Islam. Kami ingin menceritakan satu kisah yang mahsyur, tentang mengolah perbedaan menjadi persatuan ini. Mudah-mudahan, bisa ditarik manfaatnya untuk hari ini. Aktivitas mulia ini, dilakukan oleh seorang ulama yang sangat terkenal bahkan hingga saat ini. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai. Atau yang kerap kita kenal dengan Imam As-Syafi’i rahimahullah. Ini adalah sebuah kisah, yang salah satunya melatarbelakangi munculnya satu karya fenomenal dalam topik Ushul Fiqh, dengan nama Kitab Ar-Risalah.
Sekitar Abad ke-2 Hijriyah, terdapat 2 aliran fikih yang sangat kontras saat itu. Berasal dari 2 Madrasah yang berbeda. Yang pertama berasal dari madrasah al hadist (tekstual) di Madinah, dengan tokoh besarnya Imam Malik bin Anas rahimahullah. Sedangkan yang kedua, madrasah ar-ra’yi (nalar/kontekstual) yang berada di Irak, dengan tokoh besarnya para murid dari Imam Abu Hanifah rahimahullah. Madrasah al hadist, sangat terkenal kental dengan periwayatan, karena kota Madinah Al-Munawwarah adalah kota berkumpulnya para sahabat dan kota suci turunnya wahyu. Sedangkan madrasah ar ra’yi, adalah madrasah yang kental dengan nuansa pendapatnya menggunakan akal, sebab jauhnya pula dengan wilayah Madinah, dan sangat rentan akan fitnah dan hadist-hadist palsu. Padahal kedua tempat ini, adalah berkumpulnya para ulama, yang sepakat mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan segala yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak mendahulukan akal dari kedua sumber tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (TQS. An-Nisa : 59)
Kondisi ini kerap melahirkan perdebatan sengit antara keduanya. Disinilah muncul perhatian serius dari para ulama lainnya, untuk segera mengakhiri konflik ini dan menyatukan keduanya. Salah satu imam yang konsen terhadapa hal tersebut, ialah Imam Abdur Rahman bin Mahdi Rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama hadist yang alim dan sangat cinta pada Ilmu. Taat dan selalu menjadi pegangan dalam perkara hadist dijamannya. Suatu ketika, beliau meminta Imam Syafi’i rahimahullah untuk membantu dalam perkara ini. Harus ada titik temu diantara keduanya, agar bisa ditarik konklusi yang dapat diterima kedua pihak.
Peristiwa inilah yang menjadi asal muasal masterpiece Imam As-Syafi’i rahimahullah yang diberi nama Kitab Ar Risalah. Konsep ar-Risalah yang berbentuk diskusi ilmiah (al-hiwar wa al-jadal) dengan merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah dalam bab-bab khusus dan komprehensif menjadi satu kekuatan baru untuk umat Islam hingga hari ini. Dalam Kitab tersebut, dikaji berbagai pembahasan : mulai dari fikih, hadits, serta penafsiran Al-Qur’an dan ushul Fiqh. Diantaranya pembahasan :
- Al-‘aam wa al-Khash
- An-Nasikh wa mansukh
- An-Nahyu
- Al Bayan
- Al- Ijma’
- Al-Qiyas
- Al-Ijtihad; dan
- Al-Istihsan
Beliau menyatukan pandangan fikh antara Imam Malik di Madinah (Imam Syafi’i sendiri adalah murid Imam Malik) dan fiqh Imam Abu Hanifah di Irak. Fragmen-fragmennya yang mudah diingat, kuat dan jelas menjadi rujukan utama para ulama. Sumbangsih Ar-Risalah, adalah sebuah solusi, bahwa perbedaan itu justru menghasilkan suatu kekuatan yang baru. Tak Heran, jika Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, berkomentar seputar Ar-Risalah; “Dulu, fikih itu terkunci pada ahlinya saja, hingga Allah membukakannya dengan As-Syafi’i. Kini giliran kita, mengambil pelajaran dari kisah ini! Wama taufiqi illa billah! []