DakwahOpini

Ini Lebih Penting dari Logo Halal

Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd

Persoalan Logo yang Sedang Viral

Selain perang Rusia-Ukraina, ada isu yang tak kalah ramai menarik perhatian publik terutama netizen Indonesia, yaitu masalah logo halal baru yang dikeluarkan pemerintah menggantikan logo halal lama yang dikeluarkan oleh MUI. Sesaat setelah rilis, sontak langsung banyak berseliweran analisis beragam dan menarik terkait logo halal tersebut. Mulai dari mengkritik jenis khat yang dipakai, rangkaian huruf yang malah disebut membentuk kata yang sebaliknya (haram), hingga ke isu sarat politik karena bentuk logonya mirip bentuk wayang yang kemarin sempat ada isu panas terkait hal ini.

Secara fungsional, logo halal yang dikeluarkan bertujuan untuk memudahkan masyarakat membedakan antara produk halal dan haram. Sebab, meskipun di negara non-muslim sekalipun, logo halal diperlukan untuk mengakomodir kebutuhan rakyatnya yang beragama Islam saat memberi suatu produk. Oleh sebab itu, badan/lembaga yang mengeluarkan sertifikasi logo ini mestinya pihak yang paling memahami kondisi keabsahan suatu benda sehingga tidak keliru dalam memutuskan kehalalan sifatnya. Selama ini badan/lembaga yang mendapatkan amanah itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai representasi dari suara umat Islam, tentu logo halal dari MUI diterima oleh masyarakat.

Baca Juga :

Belakangan di tengah ramainya perbincangan soal logo baru ini, ada satu hal yang turut menarik perhatian, yaitu pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melalaui media sosial instagram pribadinya pada bagian caption dengan postingan foto logo halal yang baru. Beliau menuliskan, “Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikasi halal, sebagaimana ketentuan Undang-undang, diselenggarakan oleh Pemerintah, bukan lagi Ormas.” 

Meski banyak yang menyetujui pindah tangannya produksi logo halal ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, namun tidak sedikit pula yang menyayangkan dengan alasan masih banyak problem masyarakat yang lebih urgen. Semestinya hal urgen harus diselesaikan sebagai prioritas ketimbang persoalan logo yang sebenarnya tidak ada masalah dalam substansinya. Ditambah lagi adanya analisis kerugian yang membayangi para pebisnis terutama usaha-usaha rakyat menengah ke bawah yang harus mengurus ulang sertifikasi logo halal pada produknya. Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengkritik label halal baru yang dikeluarkan BPJPH Kemenag. Beliau menilai logo tersebut lebih mengedepankan seni dibanding tulisan Arab.

Jika dikaji tentang fungsinya, maka perubahan logo lagi-lagi hanya logo yang tetap mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam memilih produk, artinya selama logo halal yang melekat sesuai dengan kriteria halal semua komposisi di dalam benda tersebut maka tidak ada masalah, selesai sampai disitu. Namun, yang menarik untuk dibahas adalah insight yang ada di balik pelabelan halal itu sendiri, dan ini lebih penting dari sekedar logo dan oleh siapa itu dikeluarkan.

Lebih Penting dari Logo

Adanya label halal yang beredar di sebuah negara adalah bentuk konfirmasi bahwa di negara tersebut produk-produk yang memiliki unsur keharaman beredar luas dimana-mana sehingga harus ada pembeda yang jelas. Disinilah seharusnya yang menjadi diskursus kita, bahwa umat Islam meskipun mereka mayoritas, belum benar-benar bebas dalam membeli dan memakai suatu produk sebab harus memastikan ulang kehalalannya. Padahal halal dan haram adalah perkara dasar yang menjadi penentu ridho atau murka Allah Ta’ala dalam aktivitas seorang muslim.

Hidup di tengah-tengah sistem kapitalisme-sekuler sekarang ini merupakan belenggu bagi umat Islam. Umat Islam seharusnya bebas dari belenggu ini termasuk dalam persoalan pemenuhan kebutuhan hidup. Artinya produk-produk yang beredar seharusnya sudah halal karena pertimbangan ini, tanpa harus ada label statusnya. Jika pun yang seharusnya ada pembeda maka yang beredar adalah label haram bukan halal. Karena produk-produk yang haram sangat sedikit sehingga pantas untuk dilabeli.

Dalam menyikapi perubahan logo halal, seharusnya umat tidak perlu membuang-buang energi untuk mengkritisinya. Namun seharusnya energi itu dialihkan kepada akar masalah yang menciptakan adanya pelabelan halal pada produk-produk yang beredar. Tentu tidak dapat dilepaskan dari sistem kehidupan kapitalisme-sekuler hari ini yang bertolak ukur pada keuntungan semata, sehingga sebenarnya tidak peduli halal dan haramnya. Hanya saja, umat Islam dengan keyakinan mereka tentu mempertimbangkan unsur tersebut, sehingga harus ada sebuah konsep yang membuat tenang umat Islam dalam membeli produk. Lagi-lagi timbangannya bukan untuk mengakomodir pelaksanaan syari’at umat namun lebih kepada kepentingan industri yang tidak berkenan jika konsumennya berkurang atau hilang hanya karena persoalan halal dan haram.

Inilah titik kritis yang harus dipersoalkan umat sehingga tercipta pemikiran konstruktif yang menginginkan ‘kehalalan’ yang kaffah. Sehingga kemudian bukan hanya soal produk makanan yang dijamin kehalalannya namun juga sistem kehidupan yang sedang mengatur mereka. Terakhir saya tutup dengan pertanyaan, sudah halalkah sistem kehidupan yang mengatur hidup kita? Wallahu’alam bish showab []

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button