Dakwah

Kebiasaan Pengemban Dakwah

Penulis : Retno Hanifah

Idemuslim.com, DAKWAH — Pandemi belum usai, namun tidak separah beberapa bulan yang lalu. Selain menyisakan kesedihan dengan berpulangnya sekitar 900 ulama dan kiai (CNNIndonesia, 3/8/2021), pandemi juga membuat kebiasaan baik para pengemban dakwah harus diasah lagi. Tholabul ‘ilmi yang biasa dilakukan secara tatap muka, akhirnya dilakukan secata daring. Adab-adab yang harus dilakukan dalam menuntut ilmu, kadang terlupakan. Hal ini tentu berpengaruh pada kesungguhan dalam menuntut ilmu. Menuju tempat kajian yang biasanya harus dipersiapkan, mulai dari kitab, perlengkapan anak-anak, kue, dan sebagainya, menjadi lebih santai. Tinggal menyalakan aplikasi saat jam yang disepakati. Bisa sambil rebahan atau memasak, jika tidak dituntut menyalakan kamera.

Saat ini, beberapa tempat termasuk di Batam sudah dinyatakan zona hijau. Artinya, aktivitas bisa dilakukan secara tatap muka meski harus tetap menjaga protokol kesehatan. Perpindahan aktivitas tholabul ‘ilmi dan dakwah dari dunia maya ke dunia nyata, bisa jadi terasa berat. Maka untuk kembali ke padatnya aktivitas dakwah di dunia nyata memerlukan usaha dan kesadaran. Apa saja yang harus diasah kembali?  

Pertama, Kesadaran yang Shohih

Harus diingat kembali bahwa dakwah adalah kewajiban dari Allah Ta’ala, bukan pilihan. Apalagi dakwah melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah merupakan mahkota kewajiban. Maka dakwah haruslah menjadi poros kehidupan pengemban dakwah.

Kedua, Disiplin!

Tanpa kedisiplinan aktivitas ringan akan menjadi berat. Namun, dengan kedisiplinan aktivitas berat akan terasa ringan. Contohnya, datang tepat waktu dalam majelis, meminta izin jika ada uzur syar’i, akan terasa berat jika tidak dibiasakan.

Allah Ta’ala berfirman,” Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS an-Nur [24]: 62)

Dalam tafsir Ibnu Katsir dan Imam ath-Thabari dijelaskan makna “suatu urusan yang memerlukan pertemuan,” bukan hanya peperangan, pertemuan atau musyawarah saja; tetapi termasuk juga shalat Jumat, shalat Id, bahkan shalat jamaah lima waktu (lihat: Tafsir Ibnu Katsîr, 6/88; Tafsir ath-Thabari, 19/228).

Betapa pentingnya izin dari Rasulullah dan para pemimpin sepeninggal Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Allah menjadikan hal ini sebagai salah satu syarat kesempurnaan iman seseorang. Kalau tidak bisa datang berjamaah sholat lima waktu saja, seorang Muslim harus izin terlebih dulu, apalagi dalam urusan jamaah yang merupakan bagian dari perjuangan yang utama.

Intinya, dalam dakwah Islam, konsep disiplin diri dan disiplin dalam berjamaah sangatlah ditekankan. Tanpa disiplin, seorang Muslim sekaligus pengemban dakwah tidak akan mampu menjalankan perintah dan menjauhi larangan dari Allah, termasuk tidak mampu menemui tegaknya kemenangan perjuangan. (al wa’ie)

Ketiga, Perbaiki Manajemen Waktu

Dua tahun di rumah saja, hampir bisa dipastikan lebih banyak mengerjakan aktivitas domestik daripada aktivitas publik. Maka perlu mengatur kembali manajemen waktu agar aktivitas publik tak dikesampingkan. Pola pengaturan kegiatan berdasarkan kuadran prioritas amal bisa dilakukan.

  1. Kuadran pertama, penting dan mendesak.  Contohnya, menghadiri kajian intensif, menyampaikan dakwah pada tokoh maupun masyarakat. Kunci kuadran ini adalah lakukan.
  2. Kuadran kedua, penting dan tidak mendesak.  Aktivitas seperti membantu anak belajar, menanamkan nilai-nilai Islami pada anak, dan sebagainya  adalah aktivitas penting namun tidak mendesak. Sehingga perlu direncanakan agar tidak mengganggu pelaksanaan aktivitas penting dan mendesak.
  3. Kuadran ketiga, tidak penting tapi mendesak. Contohnya, mencuci, menyetrika, membereskan rumah, mengantar anak sekolah, dan sebagainya. Untuk aktivitas kuadran ketiga ini, jika tidak memungkinkan dikerjakan sendiri, bisa didelegasikan pada orang di sekitar kita.
  4. Kuadran keempat, tidak penting dan tidak mendesak. Contohnya nonton film, window shopping di mall, berlama-lama membuka media sosial, dan sebagainya. Aktivitas ini tidak perlu dilakukan jika tidak benar-benar ada waktu luang. Kalaupun ada waktu luang, pilihlah yang bisa mendukung aktivitas dakwah.

Keempat, Badilan Juhdi dalam Melaksanakan Kewajiban

Dalam melaksanakan kewajiban, seringkali menemui beragam rintangan. Saat akan berangkat halqah ternyata tidak ada bea transport, anak rewel, kepala pusing, hujan turun dan sebagainya. Maka kita perlu mengupayakan teratasinya rintangan-rintangan tersebut. Tak habis cerita tentang kesungguhan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan ulama dalam menghadiri majelis ilmu dan dakwah.  

Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu. (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran)

Para ulama juga tetap semangat belajar dalam keterbatasan. Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).

Para ulama selalu bersemangat mencari ilmu walaupun harus melakukan perjalanan jauh. Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).

Menuntut ilmu sering membutuhkan biaya. Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurrpengasuha’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209) (muslim.or.id)

Demikianlah para ulama kita. Tulisan ini hanya mengupas sedikit pola sikap para pengemban dakwah. Semoga kita bisa meneladani dan menyempurnakan syakhsiyah islamiyah seperti yang dimiliki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan ulama. Yassarallahu umurona.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button