Letak Kebahagiaan Seorang Muslim!

Penulis : Abdullah Efendy , S.Pd., CLMQ
Idemuslim.com, MILLENIAL TALK — Banyak orang yang salah mengartikan makna sejati dari sebuah kebahagiaan. Mereka terkungkung dalam fana sesaat yang berakhir pada kesia-siaan. Seorang mahasiswa, rela mengerjakan tugas hingga larut malam, study oriented, tidak mau berjamaah, dan focus kuliah demi meraih gelar wisudawan terbaik. Karena ia berfikir, setelah wisuda ia akan bahagia.
Tapi ternyata tidak, karena setelah lulus, ia malah mesti mencari pekerjaan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ia pun bekerja, bekerja dan bekerja tanpa kenal lelah. Hingga akhirnya, ia pun mengumpulkan banyak uang. Lalu, apakah ia bahagia? ternyata belum.
Ia pun ingin punya sebuah rumah, agar tidak ngekos lagi. Bisa bebas pulang pergi, dan meletakkan barang dimanapun. Setelah punya rumah, apakah ia bahagia? Ternyata tidak juga. Ia selanjutnya ingin menikahi seorang wanita untuk menjadi ibu dari anak-anaknya.
Lalu, apakah setelah ia menikah, ia lalu bahagia?
Ternyata juga belum. Karena ia masih ingin punya mobil, punya sepeda motor, punya lapangan golf sendiri, pengen punya pabrik sendiri dan sebagainya. Ia tidak pernah puas. Ia tidak pernah merasa cukup. Selalu ingin lebih, lebih dan lebih.
Itulah akibatnya, jika kita menjadikan dunia sebagai sumber kebahagiaan. Padahal, dunia ini tidak lebih dari setetes air yang melekat pada jari kita.
Al-Mustaurid bin Syaddad Radhiyallahu anhu berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allâh, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kamu yang mencelupkan jari tangannya ini –perawi bernama Yahya menunjuk jari telunjuk- ke lautan, lalu hendaklah dia perhatikan apa yang didapat pada jari tangannya”. (HR Muslim, no. 2858)
Ungkapan yang menyatakan bahwa “mengejar dunia, sama dengan mengejar sesuatu yang tidak akan pernah tercapai” sepertinya ada benarnya juga. Dan ketika, seorang muslim, malah menjadikan dunia sebagai tujuan, maka yakinlah ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali penyesalan!
Dunia, bukanlah tujuan. Ia hanyalah ladang untuk kita bercocok tanam, demi menempati tempat yang di dalamnya orang-orang akan merasakan kebahagiaan sejati. Karena makna dari sejati, adalah selamanya, tidak berubah, kekal dan abadi. Dan kebahagiaan itu, hanya akan kita dapati di Akhirat, bukan di dunia.
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tau benar akan hal itu. Mereka sangat tau apa sebenarnya tujuan mereka diciptakan dan kemana tujuan akhir dari kehidupan ini. Hingga wajar, mereka rela berkorban apapun demi Islam. Karena mereka yakin, janji Allah akan kebahagiaan sejati itu benar adanya. Bahkan sahabat terdekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Abu Bakar As Siddiq Radhiyallahu anhu pernah berdoa :
“Ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami. bukan di hati kami”
Ucapan sahabat Abu Bakar tersebut, mengindikasikan agar Allah Ta’ala jangan menjadikan beliau sebagai orang yang cinta dunia, yang haus akan kekayaan dan jabatan. Cukuplah tugas sebagai Khalifah di bumi yang dibebankan pada setiap diri kita, kita jalankan dengan penuh ketaatan dan demi kelangsungan hidup manusia dan keseimbangan alam.
Jika kita benar-benar memahami hidup yang hanya berkisar 65-70 tahun ini, maka kita pasti akan mendapatkan jawaban, atas apa yang seharusnya kita lakukan dengan sebaik-baiknya.
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوٓا۟ إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَىٰهَا
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu,mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja)di waktu sore atau pagi hari.”(TQS an-Naazi’aat : 46)
Sobat. Lalu dimanakah letak kebahagiaan sejati itu?
Kebahagiaan sejati itu ternyata bukan terletak dari banyaknya harta yang engkau miliki. Karena banyak orang miskin yang ternyata lebih merasakan nikmatnya makan meski hanya ada lauk pauk seadanya. Daripada orang kaya yang di depannya terhidang berbagai jenis makanan namun tidak bisa memakannya karena takut terkena kolesterol, penyakit gula, darah tinggi dan sebagainya.
Kebahagian sejati itu, juga bukan terletak pada mewah dan besarnya rumah yang kita miliki. Karena faktanya, banyak saudara kita yang lebih nyenyak tidur hanya beralaskan tikar, dari pada orang kaya yang tidur diatas bed yang empuk namun tidak nyenyak hanya karena sibuk memikirkan hutang ribawi dan pekerjaan yang menumpuk.
Lantas, dimana sebenarnya letak inti kebahagiaan itu? Kebahagiaan sejati itu, hanya akan di dapatkan ketika diri ini tidak memiliki rasa cemas, khawatir dan ragu dalam kehidupan. Ketika kita memahami benar apa sebenarnya tujuan Allah menciptakan kita ke dunia, yang pada akhirnya memunculkan keyakinan 100% pada diri ini akan hakikat atas apa yang harus kita lakukan dan kemanakah akhir dari perjalanan yang singkat ini.
Hingga, kunci kebahagiaan di dunia sebenarnya, adalah ketika kita menghambakan diri ini kepada Allah seutuhnya. Meski sedang susah, kita tetap bersabar. Ketika mendapati nikmat, kita bersyukur! Dan keduanya baik bagi kita.
Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له . وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya” (HR. Muslim 2999)
Layaknya, bermain balap mobil. Para pembalap tidak akan merasakan kebahagiaan, ketika dia curang dengan tidak mengikuti lintasan yang telah dibuat dan menabrak satu persatu mobil lawannya. Bahkan, ia bisa saja di diskualifikasi akibat melanggar peraturan dan membahayakan saingannya.
Namun, para pembalap hanya akan merasakan kebahagiaan, tatkala mobilnya dapat melaju dengan kencang sesuai jalur, kemudian menyusul dan berlomba dengan para saingannya dengan sportif dan jujur, hingga mampu menjadi yang tercepat mencapai garis finish dan meraih juara.
Meraih kebahagiaan dunia juga begitu. Seseorang tidak akan bahagia jika dia malah menjadikan dunia adalah segala-galanya, curang, fasik dan tidak berjalan di garis yang telah di tentukan (beribadah kepada Allah).
Namun, kebahagiaan sejati itu akan di dapatkan, ketika kita mengikuti apa tujuan penciptaan kita(beribadah kepada Allah), taat pada seluruh hukum-hukum Allah, hingga akhirnya kita memenangkannya (masuk kedalam syurga). Wa ma taufiqi illa billah []
MasyaaAllah
Tulisan yang sangat mencerahkan pemikiran
Masyaallah mantap bener