Dakwah

Malu bukan Malu-Maluin!

Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd

Idemuslim.com, DAKWAH —  Salah satu sifat terpuji adalah rasa malu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluhan lebih atau enam puluhan lebih cabang: cabang yang paling utama ialah ucapan La ilaaha illallah (tiada ilah yang berhak disembah selain Allah), dan cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” HR. Imam Bukhari.

Dari hadits tersebut diketahui bahwa rasa malu menempati posisi yang tinggi. Salah satu cara untuk mengetahui keimanan seseorang adalah dengan melihat rasa malunya. Seseorang yang menghiasi dirinya dengan rasa malu maka ia telah menunjukkan karakter orang beriman. Namun sebaliknya saat seeorang menunjukkan rasa tidak malu pada hal-hal yang seharusnya ia malu, maka ia telah kehilangan salah satu karakter orang beriman. Lantas bagaimana cara me-manage rasa malu agar diletakkan pada tempat yang semestinya, dan bagaimana pula cara menjaganya agar rasa malu tetap melekat pada diri kita sebagai orang beriman.

Orang biasanya malu saat ketahuan melakukan kesalahan. Misalnya saat ketahuan berbuat dosa atau maksiat. Malu juga biasanya juga muncul saat merasa diri terlihat jelek. Misalnya muncul jerawat di wajah sehingga anak-anak “ABG” sibuk menutupinya dengan berbagai cara, dan berupaya membuat wajahnya glowing agar sesuai standar kecantikan anak muda zaman sekarang. Ada yang merasa hidungnya kurang mancung, sehingga berupaya membuat bayang-bayangan di hidung dengan warna bedak yang lebih gelap agar terlihat lebih mancung. Ada yang matanya sipit atau kulitnya kurang putih dan kondisi-kondisi fisik lainnya yang membuat sebagian orang merasa malu.

Ada pula orang-orang yang malu saat tidak memiliki jabatan yang prestise, atau pendapatan yang kecil. Namun ada pula yang malu saat tidak mampu mendidik anaknya dengan benar, atau malu saat tidak mampu menjadi istri yang baik dalam melayani suaminya, dan malu saat menilai diri belum optimal dalam perjuangan menegakkan Islam. Artinya, rasa malu umumnya dimiliki semua orang, hanya saja pemicunya berbeda-beda. Karena, rasa malu memang adalah bagian dari penampakan naluri mempertahankan diri (gharizah baqo). Sementara karakter naluri tergantung kepada pemikiran dan juga rangsangan.

Rasa Malu Tergantung pada Pemikiran

Jika menganggap bahwa kekurangan fisik dan rendahnya pendapatan dinilai sebagai sesuatu yang buruk, maka wajar orang tersebut akan malu karenanya. Sebaliknya jika menganggap bahwa hal-hal yang di luar kemampuannya tersebut bukanlah sesuatu yang buruk karena merupakan qadha dari Allah, maka orang tersebut tidak akan malu karenanya. Di dalam Islam, sikap orang beriman terhadap qadha atau ketetapan Allah adalah qana’ah atau menerima dengan lapang dada. Inilah sikap yang membuat seseorang tidak akan malu dengan bentuk tubuhnya yang dinilai buruk oleh manusia, atau tidak akan malu saat penghasilannya masih rendah, melainkan melahirkan rasa syukur atas pemberian Allah yang Maha Sempurna. Rasa syukur itulah yang mendorong orang beriman untuk menjaga pemberian Allah dengan sebaik-baiknya. Mereka akan menjaga keterikatan perbuatannya sesuai hukum syara’ karena memandang bahwa penilaian Allah lebih utama dibandingkan penilaian manusia.

Rasa Malu Tergantung pada Rangsangan

Rangsangan atau interaksi yang dilakukan oleh seseorang akan mempengaruhi perasaan dan sikapnya termasuk dalam terciptanya rasa malu. Misalnya, interaksi seorang fans idol Korea yang setiap saat terkena rangsangan dari panca inderanya dengan melihat dan mendengar idolnya yang tampak sempurna, bisa menimbulkan rasa malu dan insecure pada dirinya sendiri. Karena idolnya tersebut memiliki bentuk fisik yang lebih indah maupun kehidupan yang tampak sempurna menurutnya. Padahal idol-idol K-Pop bisa memiliki standar kecantikan fisik manusia zaman sekarang karena perawatan yang tidak murah alias semuanya karena kesanggupan materi serta orientasi mereka terhadap kehidupan dunia yang menghalalkan tubuhnya dieksploitasi oleh industri hiburan.

Standar Kebaikan Berasal dari Allah Sang Pencipta!

Seharusnya cukuplah standar dari Allah ta’ala yang dikejar untuk menampilkan diri sebagai hamba terbaik dan mulia di hadapanNya. Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat:13). Maka rangsangan yang seharusnya dicari oleh orang beriman bukanlah tayangan-tayangan yang bersifat materi duniawi seperti kehidupan mewah para artis, kecantikan idol K-Pop, ataupun tayangan-tayangan orang yang sibuk memamerkan kekayaannya di media social (flexing). Namun seharusnya rasa malu atas kurangnya diri sebagai hamba yang bertaqwa diisi dengan menuntut ilmu secara sungguh-sungguh, rajin membaca buku tsaqofah Islam, mempelajari sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kisah-kisah para sahabat serta akitivitas-aktivitas lain yang semakin mendekatkan kita kepada rahmat Allah ta’ala.

Ada sebuah kisah dari salah seorang shahabiyah yang bisa dijadikan teladan oleh umat Islam berkaitan dengan rasa malu. Seorang wanita berkulit hitam mendatangi Rasulullah untuk meminta do’a. Wanita tersebut mempunyai penyakit ayan yang sering kambuh, sehingga ia meminta Rasulullah mendo’akan kesembuhannya. Namun, Rasulullah memberikan salah satu dari dua tawaran. Tawaran pertama Rasul mendoakan kesembuhannya, atau tawaran kedua wanita tersebut bersabar dan baginya syurga. Masya Allah, wanita tersebut memilih bersabar atas penyakitnya. Namun karena ia adalah orang beriman yang memiliki rasa malu, maka ia pun meminta Rasul untuk mendoakan agar apabila ayannya kambuh, Allah akan menjaga auratnya tetap tertutup. Inilah sebabnya mengapa Rasul menyebut bahwa wanita hitam tersebut adalah penduduk syurga. Allahu Akbar! Rasa malu telah membawanya kepada syurga Allah karena iman telah tertancap kuat di dirinya.

Malu yang disebabkan terbukanya aurat adalah wujud dari keimanan yang seharusnya ada pada setiap muslim. Karena menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap muslim dan Muslimah. Perintah tersebut ditetapkan Allah ta’ala untuk menjaga rasa malu pada diri hamba-hambaNya. Maka malu yang seperti ini adalah malu yang bersandar pada syaria’at Islam yang diridhoi Allah.

Sementara di kehidupan hari ini , banyak para wanita yang merasa tidak malu mempertontonkan kecantikannya, membuka aurat dengan pakaian minim, berjalan dengan lenggak-lenggok di depan keramaian. Hal ini dikarenakan pemikiran tentang rasa malu tidak disandarkan pada standar Islam. Inilah buah dari sistem sekulerisme-kapitalistik yang memisahkan agama dari kehidupan manusia. Sistem ini menjadikan penilaian manusia tentang baik dan buruk bukanlah berdasarkan halal-haram, melainkan dari standar materi antara untung atau rugi.

Baca Juga :

Tugas sebagai seorang muslim adalah menyelamatkan generasi dari pemikiran malu yang keliru. Pengemban dakwah harus meluruskan pemikiran umat bahwa malu itu adalah jika kita tidak terikat dengan syari’at Allah. Malu, jika tidak menjadi pejuang agama Allah untuk menegakkan syari’ah secara kaffah. Malu, jika seorang ibu tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan aqidah Islam. Malu, jika seorang istri tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada suaminya dengan optimal. Malu, jika seorang anak tidak bisa birrul walidayn. Sebab yang dihisab oleh Allah adalah pilihan-pilihan kita saat terikat atau tidak terikat dengan hukum syara’.

Oleh karena itu, harusnya kita tidak malu saat menjalankan perintah Allah, malah sebaliknya kita harus sangat malu saat melanggar larangannya dan saat meninggalkan kewajiban. Semoga Allah menjaga rasa malu kita tetap pada malu yang benar bukan malu-maluin dalam menyikapi segala sesuatunya. Wallahu ‘alam []

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button