Mengenal Abu Aswad Ad-Dualy

Oleh : Zahara Amalia
Idemuslim.com, EASY ARABIC — Abu Aswad radhiyallâhu ‘anhu beliau adalah seorang ulama’ dan hakim di negeri basrah pada waktu itu. Nama aslinya adalah Dzalim bin Amr bin Sufyan bin Jandal bin Ya’mar bin Halbas bin Nufasah bin Adi’ bin Ad-daili bin Bakr bin Abdu Manah bin Kinanah Al-kanani.
Abu Aswad adalah seorang ulama, ilmunya bagaikan lautan dan terdepan dalam segala hal. Beliau seorang tabi’in sholih, faqih fiddin, ahli sastra, hafidz qur’an, pemimpin yang adil, dan tak kalah penting beliau adalah pakar ilmu Nahwu. Beliau juga orang pertama yang memberikan tanda baca harokat Al-Qur’anul Kariim.
Beliau masuk Islam sejak masanya Rasulullah ﷺ, menurut penjelasan ulama’ walau Abu Aswad sudah masuk Islam sejak masa Rasulullah ﷺ, akan tetapi ia belum pernah sama sekali bertemu dengan rasulullah.
Pada masa Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu, beliau pernah menjadi penguasa. Beliau juga termasuk pengikut setia Ali, sampai beliau mengikuti perang jamal atau Sifiin.
Abu Aswad dengan Putrinya
Kala itu, Abu Aswad melakukan perjalanan ke Bashrah untuk bertemu dengan putrinya, ketika beliau sampai putrinya berkata : “يا أبت ما أشَدُّ الحَرِّ”. (Wahai ayahku, bulan apa yang paling panas dari ini?), Abu Aswad menjawab : “شَهْرٌ نَاجِرٌ” (Bulan Naajir/Shafar).
Sontak setelah mendengar jawaban Ayahnya, putrinya kaget, sebab tidak sesuai dengan apa yang dipikirannya. “Wahai Ayah, sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu akan tetapi aku mengabarkanmu tentang cuaca pada hari ini!”.
Abu Aswad sebenarnya faham apa yang dimaksudkan putrinya, akan tetapi diksi yang diucapkan oleh putrinya kurang tepat. Seharusnya kalimat yang tepat adalah “ما أَشَدَّ الحَرِّ” (Betapa panasnya saat ini).
Dan pada akhirnya, setelah terjadi pristiwa ini, bergegas Abu Aswad menemui Sayyidina Ali untuk menceritakan permasalahnnya.
Ada juga yang mengatakan, bahwa putrinya berkata :
يا أبت؛ ما أحسنُ السّمَاء
(Wahai ayah, betapa indahnya langit ini!). Akan tetapi disebabkan harokat akhir bacaanya salah, maka artinya “Apakah yang paling indah di langit?”. Sehingga Ayahnya menjawab يا بنية؛ نجومها “Bintangnya, Nak”. Anaknya berkata, “Wahai Ayah yang aku maksud bukanlah pertanyaan, melainkan ketakjuban ku dengan langit.
Akhirnya Abu Aswad berkata :”Kalau begitu katakanlah ! مَا أَحْسَنَ السّمَاء yaitu alangkah indahnya langit!
Sejak itu ia menaruh perhatian besar dengan ilmu nahwu. Ada yang bertanya kepadanya, “Darimana kau memperoleh ilmu nahwu ini?” Ia menjawab, “Aku belajar kaidah-kaidahnya kepada Ali bin Abu Thalib.” (ath-Thayyib Ba Mukhramah: Qiladatu-n Nahwi fi Wafayati A’yani-d Dahr, 2008 M, 1/508).
Sayyidina Ali pernah menyerahkan sebuah lembaran kepada Abu Aswad yang berisikan di dalamnya:
“بسم الله الرحمن الرحيم، الكلام كله لسم وفعل وحرف، والاسم ما أنبأ عن المسمى، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى، والحرف ما أنبأ عن معنى ليس باسم ولا فعل. واعلم أن الأسماء ثلاثة ظاهر ومضمر وشيء ليس بظاهر ولا مضمر.”
Setelah Abu Aswad membacanya, beliau diperintahkan untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu yang telah diajarkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu. Dari kisah ini, jumhur Ulama menyatakan bahwa penggagas utama yang sangat berdedikasi dalam pembentukan ilmu Nahwu ialah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Abu Aswad adalah tokoh yang mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu Nahwu. Wallahu ‘alam []