Millennial TalkOpini

Open Minded VS Liberalisme

Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd

Idemuslim.com, MILLENIAL TALK — Sejak kapan ada anggapan bahwa open minded lebih baik daripada close minded? Lebih tepatnya sejak kapan istilah-istilah tersebut muncul sehingga membuat polarisasi diantara masyarakat kita? Secara tidak langsung kita yang hidup di zaman ini harus memilih menjadi orang yang open minded jika tidak mau disebut close minded! Benarkah open minded bermakna positif atau malah sebaliknya bermakna negative? Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas muncul bisa jadi karena kita belum berpemahaman satu tentang definisi sifat open minded tersebut. Oleh karena itu, mari kita mulai dari defiVisit Sitenisinya.

Menurut Wikipedia, open minded berarti penerimaan terhadap berbagai gagasan baru. Sampai pada definisi ini, tentu kita sepakat open minded masih bebas nilai karena belum diketahui gagasan baru seperti apa yang bisa diterima. Artinya open minded bisa bermakna positif atau negatif tergantung sudut pandang masing-masing individu. Lha, kalau seperti itu kapan kita bisa mencapai sepemahaman nilai?

Disinilah letak keindahan dari keberagaman. Beragam bangsa, budaya, ras, dan agama ada dan hidup di bumi yang luas ini. Namun, biarpun beragam manusia punya satu alat yang sama untuk dapat menilai baik dan buruk ataupun benar dan salah suatu hal. Alat itu bernama akal. Oleh sebab itu siapa saja yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dan kebaikan harus jujur pada kepuasan akalnya atas bukti-bukti kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi. Dalam hal ini, pendefenisian open minded sesungguhnya dapat menuju satu titik kesamaan bila masing-masing dari kita jujur pada akal dan hati masing-masing.

Sebutlah bahwa kita sepakat dahulu bahwa open minded adalah penerimaan terhadap berbagai gagasan baru. Bukankah hal itu berarti sama dengan liberalisme? Apa itu liberalisme?

Liberalisme menurut Wikipedia adalah sebuah pandangan filsafat politik dan moral yang didasarkan pada kebebasan persetujuan dari yang diperintahkan dan persamaan di hadapan hukum. Dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas XII yang disusun Nansy Rahman (2020), liberalisme atau liberal adalah pemahaman terkait kebebasan dan persamaan tiap individu untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dengan ciri kebebasan berpikir.

Bila kita hubungkan antara defenisi open minded dengan liberalisme di atas, maka ada kata yang hampir sama diantara keduanya yakni pada kata penerimaan dan persetujuan. Namun sesuai asal katanya, open minded hanya mencakup wilayah gagasan, sementara liberalisme memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh sebab itu untuk mendudukkan perkara ini dengan proporsional kita akan mengulik sejarah kedua istilah tersebut.

Menurut sejarah, liberalisme lahir dari masa peradaban renaissance di Eropa sebagai bentuk protes terhadap kekuasaan tiran Raja-raja yang berkolaborasi dengan para pendeta. Akibat tidak ingin hidup di bawah kekuasaan zalim rezim tirani, masyarakat eropa bangkit dan menuntut liberalisme pada pemerintahan yang menguasai mereka. Akibatnya terjadilah revolusi pemikiran yang membawa kebangkitan masyarakat eropa dengan empat kebebasan yang harus diterapkan, bebas beragama; bebas berkepemilikan; bebas bertingkah laku; dan bebas berpendapat. Tuntutan kebebasan ini adalah klimaks dari penderitaan masyarakat Eropa yang muak dengan sewenang-wenangan penguasa mereka. Sampai-sampai ada slogan Renaissance “Gantung Raja terakhir dengan usus pendeta terakhir!” karena dianggap lembaga korup. Rakyat yang dipimpin oleh kalangan pemikir menuntut agar kekuasaan tertinggi harus berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian kebebasan rakyat dapat dicapai secara penuh.

Hari ini jauh dari daratan eropa yang kelam dengan sejarahnya itu, solusi liberalisme tersebut telah nyata bercokol di masyarakat timur yang “dipaksa” mengambil solusi yang sama meskipun problematikanya berbeda. Inilah fakta sejarah lahirnya liberalisme yang bagi sebagian orang adalah lambang modernitas dan symbol kebangkitan berpikir manusia.

Sementara di sisi lain, istilah open minded baru mencuat jauh setelah kepopuleran istilah liberalisme. Open minded ramai digunakan dalam pembahasan-pembahasan kekinian, khususnya di media sosial tentang suatu issue yang dinilai harus diterima tanpa peduli benar dan salahnya. Karena, semua orang dianggap special dengan sudut pandangnya masing-masing, sehingga cukup fair jika semua orang juga menerima pendapat dan tingkah laku orang lain meskipun menyelisihi nilai yang diyakini individu masing-masing.

Nah, apakah anda sudah merasa bahwa pikiran anda cenderung open minded atau termasuk liberal? Atau tidak keduanya? Sekarang mari kita temukan dimana letak permasalahannya.

Tentu sebagai muslim, tidak ada yang lebih dapat mengusiknya kecuali jika hal itu menyinggung perasaan umat Islam. Saat open minded tidak dipahami dengan benar alias kebablasan maka terjadilah tudingan close minded sebagai kontra darinya. Gagasan baru yang dimaksud golongan open minded harus mendapat penerimaan adalah nilai-nilai yang justru dahulu dianggap tabu oleh masyarakat. Dari sudut pandang Islam nilai-nilai tabu tersebut juga bertentangan dengan ajaran Islam. Namun sudut pandang Islam tersebut dianggap sebagai close minded yang harus dievaluasi meskipun hal itu sebenarnya adalah prinsip dasar agama.

Baca Juga : Kepemimpinan Ideal Dalam Lembaga Pendidikan Islam

Sebagai contohnya, Islam melarang umatnya mengucap selamat hari raya umat lain; melarang menggunakan atribut dan symbol umat lain. Islam juga memberikan tanggung jawab kepada umatnya untuk berperan dalam mengingkari kemungkaran dan memperbaikinya. Masalahnya, prinsip-prinsip ini dianggap tidak toleran dan eksklusif. Prinsip ini sama saja dengan sikap close minded karena tidak menerima perbedaan umat lain dan tidak turut bersuka cita bersama mereka. Sementara, saat umat Islam merayakan hari rayanya, umat lain tidak pernah dilarang untuk mengucapkan selamat kepada umat Islam oleh agama mereka. Ini mereka anggap tidak adil.

Di sisi lain, berkenaan dengan interaksi kepada umat lain, Islam mengatur batasan-batasan sebagai penerimaan pluralitas yang alamiah. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (TQS. Al-Hujurat:13).

Islam tidak mengingkari adanya keberagaman di dunia ini. Oleh karena itu, Islam memiliki batasan-batasan agar kehidupan manusia-manusia yang beragam ini dapat berjalan teratur tanpa ada pihak yang terdzolimi. Diantara aturan-aturan tersebut adalah: larangan memaksa umat lain masuk agama Islam; larangan mengganggu ibadah atau acara umat lain; memberikan jaminan yang setara kepada kafir dzimmi di dalam daulah Islam. Inilah segelintir aturan-aturan Islam mengenai interaksi dengan umat lain.

Jika Islam menerima adanya perbedaan lantas mengapa Islam tidak menerima perbedaan lainnya semisal keberadaan kaum LGBTQ, mengadopsi ritual umat lain, menerima zina, khamr, bikini, dan sebagainya? Bukankah ini juga adalah gagasan baru yang harus disikapi dengan open minded di negeri-negeri muslim? Cukuplah sebuah firman Allah ta’ala yang menjawabnya.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang mkaruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (TQS. Ali-Imran:110).

Umat Islam memiliki pandangan yang senantiasa besar dan kompleks meskipun hanya untuk menyikapi satu buah issue. Apalagi jika hal tersebut menyangkut kepada prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam yang mulia. Umat Islam wajib mengerahkan kemampuannya untuk berbuat yang makruf dan mencegah dari kemungkaran, sebab itulah konsekuensi keimanan mereka. Hal ini sejalan dengan maqashid syari’ah yang ada di dalam Islam.

Dalam kitabnya Al-Muwafaqat, Imam Al-Syathibi menyebutkan bahwa taklif syari’at bertujuan untuk menjaga tiga jenis maqashid (tujuan): dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dharuriyat adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam rangka menjaga kemashlahatan agama dan dunia yang meliputi al-dharuriyat al-khams yaitu:

  1. Menjaga agama (hifzh al-diin)
  2. Menjaga nyawa (hifzh al-nafs)
  3. Menjaga akal (hifzh al-‘aql)
  4. Menjaga harta (hifzh al-maal)
  5. Menjaga kehormatan dan keturunan (hifzh ‘al-‘irdh wa al-nasl)

Jika dharuriyat tidak dipenuhi maka akan menimbulkan halak (kehancuran) atau fasad (kerusakan) dalam sebagian atau keseluruhan dari kelima aspek di atas, yang mewakili kemashlahatan agama dan dunia.

Baca Juga : Suami Harusnya Melindungi, Bukan Mencelakai!

Umat Islam tidak berpikir individualis namun kolektif. Umat Islam tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemashlahatan bersama. Itulah mengapa amar ma’ruf dan nahi mungkar yang diperintahkan agama adalah untuk kebaikan seluruh alam semesta.

Islam tidak akan mentolerir perbuatan menyukai sesama jenis karena perbuatan tersebut mengakibatkan rusaknya kehormatan dan keturunan. Islam tidak bermanis muka terhadap perbuatan maksiat semisal zina, minum khamr, dan yang semisal dengan itu, karena perbutan-perbuatan tersebut mengakibatkan rusaknya kehormatan dan akal manusia. Apabila dikarenakan aturan-aturan penjagaan ini Islam disebut eksklusif ataupun close minded, maka akan lebih pas bila Islam disebut agama yang sangat peduli dan pelindung. Peduli terhadap kemashlahatan seluruh semesta dan melindungi semua dari kerusakan yang ada.

Berbahaya jika ada orang Islam yang salah dalam mendefinisikan open minded ini terlebih jika dia seorang yang berpengaruh. Kesalahan tersebut dapat berbuah kebablasan kepada penerimaan nilai-nilai kufur dan tidak menganggapnya masalah. Seperti pernyataan “open minded” Gitasav yang sempat jadi trending di twitter karena terkesan membela pose tutup mulutnya timnas Jerman sebagai bentuk protes pelarangan LGBT pada piala dunia tahun ini beberapa waktu lalu. Gitasav berpikir bahwa jika Islamophobia di daratan eropa adalah karena umat Islam didiskriminasi, lantas mengapa sikap seperti Qatar yang melarang kampanye LGBT dengan culturenya tidak disebut “homophobia” ? Ini adalah pernyataan sesat dan berbahaya. Karena orang Islam digiring perlahan untuk menerima perbuatan maksiat atas nama open minded yang disalah artikan. Apa sebenarnya tujuan Gitasav membagikan pendapatnya tersebut? Apakah agar orang-orang kafir rela dengan umat Islam? Atau agar orang-orang kafir berpandangan bahwa Islam menerima budaya mereka? Ini jelas adalah sikap defensive apologetic yang berlebihan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.) (TQS. Al-Baqarah: 120)

Di dalam Al-Qur’an ada sebuah ayat yang memukul telak musuh-musuhnya karena mengeluarkan statement justifikasi tentang nasib mereka di akhirat. Lontaran tersebut sekaligus merupakan olok-olokan terhadap umat Islam. Allah ta’ala berfirman: Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali Yahudi atas Nasrani…” Di dalam tafsir Ath-Thabari ayat ini adalah tentang kaum Yahudi yang berkata hanya Yahudi yang masuk surga. Kaum Nasrani juga berkata yang masuk surga itu hanya orang Nasrani. Mereka mengkritik Al-Qur’an dan membuat klaim bahwa orang Islam tidak akan masuk surga karena yang masuk surga hanyalah kaum mereka. Apakah ini sikap open minded Yahudi dan Nasrani dengan iri dan dengki yang mengakar terhadap umat Islam?

Lihatlah bagaimana Al-Qur’an membalas perkataan mereka. Kelanjutan ayatnya adalah,

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.” (TQS. Al-Baqarah: 111)

Jika kita mau jujur maka Islamlah yang pantas untuk disebut open minded karena menerima adanya perbedaan sambil mengatur bagaimana menyikapinya. AL-Qur’an tidak membalas klaim orang-orang kafir dengan pernyataan bahwa hanya umat Islam yang masuk surga, tidak! melainkan Al-Qur’an mendengarkan dahulu pendapat mereka, menerima adanya pendapat tersebut, kemudian membantahnya dengan elegan. Inilah sikap open minded yang benar.

Jadi, open minded itu sikap yang berdasar pada prinsip yang shahih, layaknya sikap umat Islam saat menghadapi tuduhan-tuduhan orang kafir. Namun jika open minded atau toleransi diartikan bisa menerima semua hal lalu menghargai tanpa ada batasan, itu artinya anda tidak punya pendirian. Justru ini lah yang disebut kaum liberal yang membebaskan pendapat apapun namun ternyata close minded terhadap prinsip umat Islam. Wallahu’alam bish showab.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button