
Idemuslim.com, OPINI — Apa yang terlintas di benak pembaca tentang negarawan? Saat penulis belum mengkaji Islam dengan mendalam, yang terlintas tentang negarawan adalah penguasa atau orang-orang yang yang memerintah suatu Negara, kenapa penulis punya persepsi begitu? Karena julukan tersebut selalu di sematkan kepada kepala Negara, perdana menteri dan posisi-posisi pemerintah yang lain, sehingga terkesan masyarakat menjadi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negarawan dan orang biasa.
Ternyata itu pandangan penulis yang keliru, karena penguasa bisa saja seorang negarawan, bisa juga bukan. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi negarawan, meskipun ia tidak melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Bisa saja dia seorang pedagang, karyawan di suatu pabrik, petani sawah, atau guru di sekolah – termasuk Muslimah di dalamnya bisa -menjadi negarawan.
Karena negarawan adalah orang yang mampu menerjemahkan atau mentransfer kitab-kitab dan pikiran para ulama tersebut ke dalam realita kehidupan. Hal ini selaras dengan fakta bahwa negarawan merupakan sosok pemimpin politik kreatif dan inovatif. Ia memiliki mentalitas pemimpin dan mampu mengatur urusan kenegaraan, menyelesaikan permasalahan, serta mengendalikan urusan pribadi dan urusan umum, Dia orang yang mendasarkan kepada suatu prinsip kebenaran yang hakiki ( Ideologi tertentu) dan konsisten dengan prinsip ideologi tersebut. Inilah negarawan sejati. Ia dapat muncul di tengah-tengah rakyat dan tidak menduduki jabatan pemerintahan atau tidak sedang melakukan tugas-tugas pemerintahan. Ia bisa seorang laki-laki atau seorang wanita. Hal ini seperti dinyatakan oleh ulama alumnus Al-Azhar Kairo Mesir, Syaikh Abdul Qadir Zallum.
Negarawan yang penulis maksud bukanlah sebagaimana yang dimaknai secara normatif yakni karakter khusus yang selayaknya ada pada diri pelaku, tokoh atau pemimpin yang berkaitan langsung dengan urusan urusan pengelolaan sebuah negara (pemerintahan). Dalam diskursus kajian Islam, istilah negarawan juga di dapati ketika mengkaji kesalahan konsep sekulerisme yang mendikotomikan (membagi atas dua kelompok yang saling bertentangan) kekuasaan agama dan negara. Tentu bukan makna ini yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini.
Kata negarawan di sini lebih dekat pada permaknaan peran politik yang semestinya di miliki oleh setiap muslim, tak terkecuali wanitanya. Peran politik itu fundamennya adalah ideologi. Dan bagi seorang muslim itu adalah Islam. Islam sebagai ideologi memandu setiap muslim untuk berfikir pada level memperhatikan problema umat-mengambil sikap kritis manakala urusan umat diatur dengan kebijakan negara yang tidak tepat, zalim, menyimpang apalagi Sampai menyesatkan. Muslim/ah tidak boleh mencukupkan diri pada penyelesaian urusan dirinya sendiri dan keluarganya. Inilah politik dengan maknanya yang hakiki. Maka sesungguhnya karakter sejati setiap muslim/ah adalah seorang politikus yang tentu saja tidak abai terhadap bagaimana roda pemerintahan (negara) dijalankan.
Jadi, orang biasa juga bisa menjadi negarawan tak terkecuali wanita, maka jangan bercita-cita remeh meskipun kodrat wanita adalah pengurus rumah tangga, bercita-citalah menjadi Muslimah Negarawan yang akan menjadi mercusuar dalam tatanan kehidupan. Mendedikasikan diri menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, sehingga mampu menjalankan semua peran sebagai Muslimah dengan ruh, dan mampu melihat di balik tembok (penglihatan jauh ke depan), dengan cita-cita besar dan visioner .
Baca Juga :
- Bagaimana Seharusnya Filantropi Islam Berdaya?
- Tenaga Honorer Dihapus, Solusi Kah ?
- Islamofobia Meradang di India
Namun bolehkah Muslimah menjadi negarawan? Bukankah wanita tidak boleh menjabat sebagai penguasa? Tentu saja bisa, karena sesungguhnya dengan anugerah akal pikiran yang sama dengan kaum laki-laki, akan menjadikan wanita mampu memiliki kapasitas berpikir yang tinggi, bahkan yang tertinggi yakni pemikiran politik. Meski Syariah Islam membatasi peran perempuan dalam politik pemerintahan bukan berarti kapasitas pemikiran kenegarawanannya dihambat dan dibatasi, syariah Islam justru memberi peran besar bagi kaum Muslimah yakni sebagai penjaga peradaban Islam. Kapasitasnya sebagai ilmuwan, penggerak opini dakwah, dan ibu generasi, kita bisa belajar dari sosok bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. dan sosok Khaizuran- wanita di antara tiga Khalifah.
Nilai manusia ditentukan oleh apa yang dia cari. Karena itu, apa yang kita cari entah itu kecil atau besar, agung, remeh dan hina itu mencerminkan diri kita. Maka, orang yang berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang yang berjiwa kerdil, akan bercita-cita dan mencari hal-hal kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang agung dan mulia. Sebaliknya, orang yang rendah dan hina, akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang murahan dan hina.
Firman Allah Ta’ala. Juga memerintahkan kita untuk memiliki cita-cita tinggi
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.(TQS. Al-Furqān : 74)
Begitupun hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Karena itu, jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena sungguh dia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai surga.” (HR. Bukhari 2790 & Ibnu Hibban 4611).
Walahu ‘alam []