Pendidikan Islam

Orang Tua Hebat Membentuk Anak yang Super Hebat!

Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd

Idemuslim.com, PENDIDIKAN ISLAM — Pasti kita telah menyadari kerusakan generasi dari hari ke hari di negeri ini. Negeri ini dahulu disebut ketimuran dengan segala budaya sopan santun yang berbeda dengan negeri-negeri Barat. Namun kini sudah samar garis “demarkasi” budaya antara Barat dan Timur. Karena orang-orang Timur pun sudah sempurna menyerupai Barat dalam segala bidang kehidupan. Inilah yang dibahas oleh Salim Fredericks sebagai invasi politik dan budaya asing dalam bukunya dengan judul yang sama. Barat sedang melancarkan serangan terhadap negeri-negeri muslim yang menyasar para generasi muda. Oleh sebab itu, kita sebagai orang tua yang memiliki kepekaan ideologis wajib memberhentikan masalah ini dengan pemikiran dan kesadaran aqidah, sehingga dapat menyelamatkan dunia dari kerusakan selama-lamanya.

Pemuda Dulu vs Pemuda Kini

Diantara permasalahan yang sering dialami oleh generasi muda hari ini sangat berbeda jauh dengan masalah yang dihadapi oleh generasi muda pada awal-awal abad kejayaan Islam. Generasi muda para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin telah selesai dengan masalah pribadinya sehingga mampu menyalurkan energi mereka untuk menyelesaikan persoalan keumatan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah berhasil mencetak pemuda pejuang yang militan serta ikhlas menempuh jalan yang sukar. Sehingga masalah mereka bukan lagi terkait insecurity, mental illness, bullying, game addicted, stress dan depresi, atau masalah percintaan. Namun persoalan mereka sudah next level dengan kesadaran ideologis (mendasar dan menyeluruh terkait dunia dan akhirat).

Baca Juga : Penting! Inilah Potret Pendidikan Islam di Dalam Keluarga!

Dua perbedaan pandangan tentang masalah di atas berkaitan dengan tiga hal utama yang diambil, yakni mafahim (pemikiran), maqayis (standar), dan qana’at (keyakinan). Seorang muslim seharusnya menyandarkan ketiga hal tersebut dengan sudut pandang syari’at Islam, sebagaimana orang-orang beriman sebelum mereka. Masalahnya hari ini, generasi muslim banyak keliru memahami, mengambil standar, dan keyakinan dalam kehidupan dengan menjadikan orang-orang kafir (Barat) sebagai kiblatnya. Kekeliruan ini bukan lah kesalahan yang berdiri sendiri, melainkan efek domino dari penerapan ideologi kapitalisme-sekuler yang diadopsi di negara tempat mereka hidup. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Sesungguhnya al-imam itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain). Artinya apabila perisai tersebut hilang, maka hilanglah perlindungan atas umat dari musuh-musuh Islam, sehingga terjadilah apa yang terjadi hari ini, rusaknya segala lini kehidupan manusia.

Bermula dari Pendidikan Orang Tua

Orang bijak mengatakan, “Didiklah anak-anakmu, sebelum ia lahir ke dunia.” Sebagaimana kualitas tanaman yang super tentulah bermula dari petani yang berilmu dan inovatif. Jika orang tua baru akan merancang pendidikan anaknya setelah menjadi orang tua, maka hal tersebut sudah sangat terlambat. Karena anak adalah manusia dengan segala keistimewaan penciptaannya, bukan robot yang langsung patuh atas setiap perintah. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.” (QS. A-Tiin:4-6).

Ayat di atas memperingatkan bahwa ada misi khusus yang harus diemban setiap manusia yakni menjadi beriman dan mengerjakan kebajikan. Karena jika tidak, maka sebagus apapun rupa, kepintaran, harta, maupun kekuasaan yang dimilikinya sementara ia tidak beriman, Allah ta’ala akan mengembalikannya ke tempat serendah-rendahnya (neraka). Iman dan amal sholih adalah saudara kembar yang dibentuk dengan proses belajar berkelanjutan dan hanya dapat diajarkan oleh orang-orang yang sudah terlebih dahulu memiliki iman dan terbiasa beramal sholih. Oleh sebab itu, benarlah kata-kata bijak di atas yang bermakna pendidikan orang tua akan menentukan baik buruknya anak-anaknya. Dalam konteks ini berarti iman dan amal sholih anak, adalah hasil didikan dari orang tua yang beriman pula.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa hak seorang anak adalah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sholihah. Tidak dapat dipungkiri bahwa diantara ibu dan ayah, ibulah yang mendapatkan status ummu warobbat al bait yang bermakna pendidik dan pengatur rumah tangga, karena sifat-sifat yang dimilikinya sebagai perempuan sehingga menghasilkan peran sentral dalam pendidikan generasi penerus. Namun demikian, ayah adalah figur yang tidak boleh melepaskan pegangannya terhadap anak-anaknya. Di dalam Al-Qur’an tercantum begitu banyak dialog antara ayah dengan anaknya. Setidaknya ada di 14 tempat yakni, Di QS. Al-Baqarah 132-133; Al-An’am 74; Hud 42-43; Yusuf 4-5; Yusuf 11-14; Yusuf 16-18; Yusuf 63-67; Yusuf 81-87; Yusuf 94-98; Yusuf 99-100; Maryam 41-48, Al-Qashash 26; Luqman 13-19; dan Ash-Shaffat 102. Salah satu nasihat yang diberikan sosok ayah kepada anaknya tentang keimanan terekam dalam percakapan Luqman dan anaknya, “Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS. Luqman: 13).

Baca Juga : Suami Harusnya Melindungi, Bukan Mencelakai!

Anak adalah duplikat orang tuanya. Ayah dan Ibu yang sholih akan melahirkan anak-anak yang sholih dan sholihah. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi…” (HR. Ahmad Ibnu Hambal). Memang faktor-faktor luar cukup mempengaruhi kualitas kepribadian seorang anak. Namun, tetaplah orang tua yang menjadi ujung tombaknya. Mendidik anak sebenarnya adalah mendidik diri sendiri. Sebab orang tua adalah figur nyata yang diindera setiap saat oleh anak-anaknya. Mulai dari bahasa sehari-hari, apakah ahsan atau kotor, sikap terhadap orang lain, apakah menampilkan kemunafikan atau empati, hingga pemikirannya terhadap kehidupan, apakah hidup dianggap ibadah atau hanya sekedar hidup saja. Ini semua tentu bergantung dari kualitas iman orang tua. Orang tua yang dekat dengan Allah, tidak akan rela bila sang anak jauh dari agama dan menjadi orang-orang kafir sebagai panutan mereka. Orang tua yang berilmu dan beriman akan mengupayakan segala cara untuk memberikan pemahaman, lingkungan dan fasilitas yang mendukung terbentuknya anak yang sholih. Oleh karena itu, orang tua yang baik adalah orang tua pembelajar, tidak bosan belajar dengan buku-buku bacaan, mengikuti kajian-kajian parenting, dan yang paling utama adalah mengamalkannya dalam pendidikan anak-anaknya. Sekali lagi, idealnya ilmu-ilmu tersebut dipersiapkan sebelum menjadi orang tua.

Anak berasal dari air. Sebagaimana air, ia terbentuk sesuai tempatnya. Tempat pembentuknya adalah orang tua, lingkungan (sekolah, masyarakat, media, dan negara). Anak bergerak dengan dorongan-dorongan lingkungannya. Inilah yang mempengaruhi kualitas anak. Namun, orang tua jugalah yang memiliki kewajiban untuk mengkondisikan dimana tempat anak hidup, dengan siapa dia bergaul, dan dimana saja dia memperoleh pendidikan. Apabila orang tua menganggap sepele masalah faktor-faktor ini, maka ini akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Anak-anak akan menjelma menjadi manusia yang berorientasi duniawi, menganggap sepele orang lain, dan tidak mempan terhadap nasihat-nasihat agama. Bukankah ini yang sedang terjadi di negeri kita sekarang?

Ada pepatah Arab yang mengatakan, “Syubhanul yaum, rijalul ghad” yang artinya: Pemuda hari ini pemimpin masa depan. Tanpa banyak disadari para orang tua hari ini, mereka bukan hanya sedang meneruskan keturunan dari diri mereka, tetapi para orang tua hari ini sedang mewariskan kepemimpinan dunia di pundak anak-anak mereka. Bayangkan jika para orang tua ini adalah mereka yang tidak beriman, miskin ilmu, dan acuh terhadap kehidupan. Tentu sudah dapat dibayangkan generasi seperti apa yang akan tercipta. Planet bumi ini akan mengalami kehancuran yang kontinyu akibat perbuatan tangan-tangan manusia yang serakah atas kehidupan duniawi. Allah ta’ala telah mengingatkan kita, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum 41). Oleh sebab itu, menjadi orang tua adalah amanah yang sangat besar di mata Allah ta’ala. Begitupun dengan ganjarannya di akhirat kelak. Setiap dari kita akan adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang hal-hal yang dipimpinnya.

Praktek Pendidikan Orang Tua di Dalam Islam

Pendidikan di dalam keluarga adalah fase awal dari rangkaian pendidikan seumur hidup seorang anak. Awalan selalu begitu penting sebagaima pondasi dalam sebuah bangunan. Maka pendidikan oleh orang tua harus membangun pondasi agama yang kuat agar anak terbentuk menjadi pribadi beriman, bertaqwa, dan tangguh menghadapi zamannya.

Allah ta’ala berfirman, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserah dirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Al-Baqarah: 131-132).

Melalui ayat di atas, jika kita perhatikan ternyata merupakan contoh praktek pendidikan di dalam keluarga. Di dalamnya terdapat beberapa hal yang seharusnya ada dalam pendidikan keluarga, yakni sebagai berikut:

  1. Pendidik -> Ibrahim/Ya’qub
  2. Peserta Didik -> Anak-anak mereka
  3. Metode Pembelajaran -> Ceramah dengan bahasa yang lembut (Wahai anak-anakku”
  4. Topik Pembelajaran -> Berpegang teguh pada agama Allah
  5. Tujuan Pembelajaran -> Agar anaknya mentauhidkan Allah dan terhindar dari mati sebagai kafir.

Inilah luar biasanya pendidikan di dalam Islam. Kelima komponen di atas dapat diuraikan dan diterapkan dalam kehidupan orang tua hari ini. Orang tua sebagai pendidik, anak-anak yang sebagai peserta didik, metode pembelajarannya dengan nasihat yang lembut, materi pembelajarannya bisa apa saja asal dikaitkan dengan landasan Islam, yang semua itu bertujuan untuk memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak-anaknya. Pelajaran bermanfaat bukanlah ditujukan kepada oreintasi duniawi, melainkan untuk kehidupan akhirat si anak. Orang tua yang paham agama, akan membimbing anak-anaknya menuju syurga, dan memalingkan wajah mereka dari jalan ke neraka, Masya Allah.

Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah do’a-do’a orang tua yang melangit untuk anak-anaknya. Karena pertolongan Allah penentu segalanya. Do’a orang tua yang tidak terputus akan menuntun si anak ke jalan yang benar. Al-Qur’an mengabadikan do’a Nabi Ibrahim kepada anak keturunannya. Allah ta’ala berfirman, “ Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan sholat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (Hari Kiamat).”(QS. Ibrahim: 40-41)

Inilah sebabnya, mengapa orang tua harus menjadikan dirinya sholih terlebih dahulu sebelum membantu anak-anaknya untuk menjadi sholih juga. Karena kesholihanlah yang dapat membantu hidup kita di dunia dan di akhirat kelak.

Peran Masyarakat dan Negara

Namun, orang tua memiliki tantangan yang cukup berat dan dinamis. Pasalnya, pendidikan anak juga sangat berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan negara. Anak-anak yang sudah dididik dengan sangat baik oleh orang tua di dalam keluarga, memiliki kemungkinan terusak oleh lingkungan masyarakat dan negara. Apatah lagi bila di dalam keluarga pun si anak tidak mendapat pendidikan Islam dari orang tuanya, bisa jadi si anak menjadi korban sistem sekuler atau mungkin justru menjadi pelaku kerusakan, na’udzubillah.

Di dalam Islam, masyarakat memiliki peran amar ma’ruf – nahi munkar, yakni peran pengontrolan terhadap perilaku dan teladan antara sesama. Masyarakat Islam telah memiliki motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan yang diperoleh dari pendidikan berlandaskan aqidah Islam, baik yang diajarkan di sekolah, masjid, dan tempat-tempat pendidikan lainnya. Apabila ada seseorang yang berbuat maksiat, maka masyarakat sepakat dan setuju memandangnya sebagai dosa. Tidak hanya itu, masyarakat juga sepakat untuk menasihati dan membantu pelaku untuk kembali ke jalan yang benar. Kelaziman seperti ini terbentuk karena pola pikir, pola sikap, dan aturan yang berjalan di tengah-tengah masyarakat Islam adalah satu yakni Islam saja. Sehingga aneh bila ada seseorang yang membiarkan orang lain terjerumus dalam dosa tanpa melakukan apa-apa.

Kondisi ini tentu 1800 berbeda dengan masyarakat sekuler hari ini. Anak-anak muslim yang berpakaian tidak menutup aurat, berpacaran, menjadi pelaku LGBT, mabuk-mabukkan, sex bebas, pelaku tawuran, dan masih banyak yang lainnya, tidak mendapatkan pengayoman dari masyarakat. Umumnya masyarakat bingung dalam bersikap, karena sebagian telah terdoktrin dengan hak-hak kebebasan individu ala demokrasi sehingga menjadi masyarakat apatis, sebagian lainnya merasa aneh jika menasihati karena hal tersebut tabu dilakukan dan langsung menyerahkan kepada keluarga ataupun negara.

Baca Juga : Kepemimpinan Ideal Dalam Lembaga Pendidikan Islam

Sejatinya, kunci utama pembentukan masyarakat Islam yang di awal tadi adalah turut sertanya negara dalam pendidikan anak. Negara adalah kekuatan paling besar dalam pembentukan generasi yang berada di bawah tanggungannya. Negaralah yang memberikan contoh teladan dalam peri’ayahan (pengurusan) umat lewat penerapan syari’at Islam kepada seluruh rakyatnya.

Di dalam Islam, ada kewajiban-kewajiban negara yang berkaitan dengan pendidikan Islam, diantaranya adalah tiga hal. Negara wajib:

  1. Menyelenggarakan pendidikan Islam berikut seluruh fasilitasnya untuk memudahkan semua orang mengakses pendidikan secara gratis.
  2. Memberikan kemudahan lapangan kerja bagi setiap laki-laki baligh sehingga persoalan ekonomi tidak memicu hancurnya pola asuh dalam keluarga.
  3. Menerapkan sistem sanksi Islam kepada pelaku kejahatan agar tidak terulang kesalahan seperti lingkaran setan.

Masih banyak lagi bentuk-bentuk peri’ayahan negara Islam kepada rakyat untuk membentuk iklim yang sehat, stabil, dan berkelanjutan dalam kehidupan manusia. Tentu hal-hal semacam ini tidak didapatkan dari pendidikan di bawah kekuasaan sistem Kapitalisme-sekuler seperti sekarang ini saat kita hidup.

Oleh karena kerusakan dan solusi adalah hal yang tidak berdiri sendiri, maka secara bijak dikatakan problem manusia hari ini sudah mengakar, dan akarnyalah yang harus dicabut dan digantikan dengan “akar solusi” yang terbaik, yakni Islam. Karena sistem Islam berasal dari wahyu Sang Pencipta yang sudah tentu akan membawa kepada jalan kesempurnaan. Semoga kita semua menjadi bagian dari perubahan besar ini, dalam dakwah bil Islam dan istiqomah hingga titik darah penghabisan. Wallahu’alam.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button