PILPRES Untuk Siapa?

Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd
Kronologi Wacana Penundaan Pilpres
Rakyat Indonesia tengah bernafas sedikit lega karena kurva penyebaran covid19 mulai melandai meskipun masih dibayang-bayangi dengan isu wabah omicron dan varian virus lainnya. Namun, tampaknya sekarang ada kurva yang sedang naik dan menyedot perhatian publik. Panas suasana pilpres yang sejatinya masih 2 tahun lagi, sudah terasa hari ini dengan munculnya wacana penundaan pesta demokrasi tersebut dikarenakan alasan-alasan tendensius yang mengundang reaksi baik penolakan maupun penerimaan. Secara bijak, kita dapat menyaksikan sebuah fenomena seru pertarungan antar sesama elite dalam menjaga kewibawaan juga komitmen mereka terhadap konstitusi nasional, sekaligus miris dan prihatin atas masalah umat yang seolah bukan hal prioritas dalam penyelesaian.
Wacana penundaan pilpres muncul pertama kali dari Menteri Investasi RI, Bahlil Lahadalia saat menjadi narasumber pada hasil survei Indikator milik pengamat politik Burhanuddin Muhtadi. Ada salah satu pertanyaan dalam survei tersebut yang kemudian dikomentari oleh Bahlil sehingga memunculkan wacana penundaan pilpres. Isinya adalah mempertanyakan apakah setuju jika pemilu presiden ditunda sampai 2027. Hasilnya 5,7% menjawab sangat setuju, sekitar 33% menjawab setuju, dan dibulatkan bahwa sekitar 40% memilih setuju penundaan pilpres. Komentar beliau adalah bahwa hal ini merupakan suara dari sebagian pelaku ekonomi yang khawatir dengan ketidakpastian menjelang pilpres sementara saat ini mereka sedang berusaha bangkit dari keterpurukan akibat hantaman covid 19, sehingga lanjut beliau pilihan penundaan pilpres dapat dipertimbangkan karena suara ini berasal dari elemen masyarakat dalam konteks dunia usaha yang keberadaannya juga penting untuk menopang ekonomi Indonesia.
Selain itu, hal yang juga memperkuat argumen beliau adalah hasil survei kepuasan kepada kinerja Presiden yang mencapai 71% dan juga terhadap kinerja ekonomi yang semakin hari semakin membaik sekitar 14%. Lanjutnya, bahwa sejarah bangsa Indonesia terkait pemilu yang tidak tepat waktu juga memiliki peluang karena pernah terjadi di masa orde lama dan orde baru saat terjadi kriris. Di orde lama ada krisis konstitusi sehingga pemilu dimundurkan. Di orde baru ada krisis reformasi tuntutan persoalan ekonomi sehingga dimajukan dari yang harusnya tahun 2022 ke tahun 1999. “Harusnya sejarah ini dijadikan yurespondensi dalam konteks literatur dalam berdiskusi” terangnya pada CNN News (2/22).
Baca Juga :
- Tren Unboxing by Husband, Bukti Islam Tidak Lagi Jadi Rujukan
- BPJS Kesehatan : Solusi atau Polemik?
- Trend Spirit Doll di Kalangan Artis, Begini Islam Menyikapinya!
- Moderasi Agama Upaya Barat dalam Mengaburkan Ajaran Islam
Narasi ini selanjutnya disambut oleh beberapa parpol yang setuju jika pilpres ditunda satu atau dua tahun mendatang. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui ketum Muhaimin Iskandar menyatakan alasan ingin ditundanya pilpres karena masalah pandemi yang meminta fokus diselesaikan dan juga pemulihan ekonomi usaha-usaha yang terdampak. Dilanjutkan dengan Partai Amanat Nasional (PAN) melalui ketum Dzulkifli Hasan yang juga menyatakan setuju penundaan pilpres. Begitu juga dengan Partai Golongan Karya (Golkar) yang akhirnya juga setuju. Alhasil ada 3 partai koalisi pemerintah yang mengangkat isu ini sehingga menjadikannya debatable di kalangan elite sekaligus ujian bagi pemangku kepentingan. Satu hal yang tentu menjadi perhatian adalah sikap dan langkah pemerintah dalam menanggapi isu ini apakah berdiri di atas kepentingan rakyat atau para elite yang sedang menggandeng tangan mereka.
Sementara itu, Bapak Presiden Joko Widodo menyatakan sikap yang dinilai cukup multitafsir karena tidak terlalu tegas dalam menolak penundaan pilpres. Menurut Sekjen Partai Demokrat Jansen Sitindaon, sikap ini tidak setegas sikap beliau saat menolak wacana 3 periode yang pernah dilontarkan beberapa waktu yang lalu. Saat itu beliau mengatakan “Lebih baik tidak usah amandemen, Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang sekarang ini bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Ada yang ngomong presiden dipilih 3 periode. Itu sudah 3 dosanya. Satu, ingin menampar muka saya. kedua ingin cari muka padahal saya gak punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan”. Sementara itu saat menyikapi penundaan pilpres beliau menyatakatan, “Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi. Siapapun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” ujarnya. (Bogor, 4 Maret 2022).
Pernyataan abu-abu Jokowi ini mengingatkan kita 8 tahun yang lalu saat beliau masih menjadi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ada pertanyaan yang menyentil untuk ikut pilpres 2014. Saat itu beliau mengatakan “Sekarang ini saya mau fokus dulu bekerja ngurusi masalah rusun, masalah monorail, masalah MRT, masalah kesenjangan tadi…” “Sampai sekarang ini saya tidak terpusingkan dengan hasil-hasil survei, tidak berpengaruh dengan saya.” jelas beliau. Namun, pada faktanya beliau akhirnya ikut pencalonan bahkan mencapai 2 periode kepemimpinan. Artinya, ada peluang yang memungkinan beliau untuk berubah pikiran sekali lagi dan mengambil opsi yang sama sesuai yang diingini oleh 3 parpol pendukungnya.
Pilpres Untuk Siapa?
Pesta demokrasi alias pemilu adalah perhelatan akbar rakyat Indonesia yang biasanya akan menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat untuk ikut mensukseskannya. Di samping itu Pemilu adalah ajang pembuktian demokratisasi negara di atas konstitusi. Oleh sebab itu pemilu dinilai sangat penting untuk diadakan sesuai dengan slogan demokrasi’ dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ yang menjadi ruh semangat berbangsa dan bernegara. Menurut UU pada Pasal 22E NRI ayat 1 UUD 1945 Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Artinya, setiap 5 tahun sekali wajib diadakan pemilihan umum untuk memilih diantara calon-calon presiden yang ada menjadi Presiden yang baru Republik Indonesia selama 5 tahun ke depan. Untuk masa jabatan presiden dan wakil presiden juga diatur dalam UU yakni pada pasal 7 UUD 1945 yang setelah amandemennya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Oleh sebab itulah pemilihan presiden dengan calon petahana memiliki nuansa yang lebih panas karena punya peluang besar untuk menang kembali jika elektabilitasnya masih baik atau justru sebaliknya, rivalnya punya keunggulan yang lebih tinggi di hati masyarakat.
Jika menurut konstitusi yang masih berlaku hari ini, suasana seperti tadi tidak dapat dirasakan karena presiden terpilih sekarang sudah mencapai masa 2 periode. Artinya akan ada wajah-wajah baru yang mengisi bursa pilpres. Namun, dengan adanya isu penundaan pilpres maka tampak ada manuver politik yang akan mewarnai perhelatan pilpres kali ini. Meskipun secara tegas Presiden menolak 3 periode karena harus tunduk pada konstitusi yang berlaku, namun pada kenyataannya konstitusi itu sendiri adalah produk hukum dari lembaga legislatif yang sebagian besar para pejabatnya juga merupakan para pebisnis alias pelaku ekonomi. Menurut penelitian Marepus Corner yang bertajuk ‘Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Ologarki di Indonesia’ menemukan sebanyak 55% anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor. Bahkan sebanyak 26% pebisnis tersebut adalah berstatus pemilik atau owner perusahaan dan 25% menjabat sebagai direktur atau wakil direktur, kemudian 36% lainnya masih aktif dalam melakukan kegiatan berusaha (liputan6.com, 9/10/2020). Bukankah suara pelaku ekonomi seperti ini lah yang di awal pembahasan sudah diklaim Menteri Bahlil sebagai suara yang ingin pilpres ditunda dengan alasan menjaga kestabilan ekonomi mereka?
Kewenangan membuat hukum yang dimiliki lembaga legislatif berpotensi menghasilkan conflict of interest jika MPR menguji pasal tentang masa jabatan yang memungkinkan pemilu diundur. Demikian yang diingatkan oleh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya. Masih menurut beliau, yang harus kita ingat adalah jika pemilu benar-benar diundur maka yang akan menikmati masa perpanjangan jabatan bukan hanya presiden, tetapi juga DPD dan DPR. Oleh sebab itu, menteri Bahlil menyimpulkan bahwa jika tidak ada ruang usulan ini diterima maka dicukupkan, tetapi jika ada ruang untuk didiskusikan maka dipersilahkan. Sampai saat ini beliau juga mengaku belum ada mendapat teguran dengan bentuk apapun dari istana.
Persoalan Penting Negara
Inilah wajah percaturan dalam politik demokrasi yang penuh dengan drama serta intrik tanpa standar mutlak yang dapat dipegang dan lagi-lagi rakyat hanya dapat menonton. Mirisnya, kepentingan rakyat tidak pernah dibahas hingga sepanas ini kecuali hanya bagian dari iming-iming saat kampanye 5 tahun sekali. Sehingga wajar jika kita bertanya sebenarnya pilpres ini untuk siapa? benarkah untuk kesejahteraan rakyat, agar rakyat hidup tentram, aman, damai, sentosa, atau justru rakyat hanya dijadikan alasan untuk kepentingan segelintir orang meraih kekuasaan.
Faktanya, persoalan masyarakat di negeri ini sangat kompleks dan sudah menyentuh titik krisis. Mulai dari krisis ekonomi, sosial, pendidikan, moral generasi, bahkan krisis dalam persoalan menentukan teknis beribadah. Masyarakat masih merasakan mahalnya harga minyak goreng di pasaran sekaligus sulit pula untuk mendapatkannya. Keamanan dan keselamatan rakyat dari tindak kriminal masih sangat mengkhawatirkan. Jauhnya generasi dari karakter konstruktif menimbulkan masalah-masalah cabang yang juga mengkhawatirkan keberlanjutan estafet generasi pemimpin di negeri ini. Di dalam rumah ibadah juga masyarakat tidak dapat bernafas lega sebab sekarnag sudah lebih banyak aturan pemerintah yang memasukinya. Inilah problem-problem yang seharusnya menjadi pembahasan utama para elite dan pemerintah jika kembali kepada asas demokrasi yang menjadi tumpuan sistem bernegara. Sebab inilah problem yang menyentuh langsung masyarakat dalam berkehidupan.
Sistem Islam Menjadi Solusi Hakiki
Bukankah era renasissance di Eropa berawal dari ide untuk hidup sekule? Begitupula dengan era reformasi juga berawal dari ide untuk keluar dari kediktatoran penguasa? Lantas apa yang menghalangi manusia-manusia pemikir untuk terus memikirkan ide-ide yang dapat menghasilkan kebangkitan bagi umat? Sampai kapanpun ide tetaplah gagasan hingga berhasil direalisasikan. Dan bagi seorang muslim yang sejati gagasan berpikirnya haruslah berdasarkan timbangan aqidah mereka sebagai konsekuensi keimanan.
Bukanlah seorang muslim jika dia tidak memikirkan kondisi umat saat dia bangun tidur. Demikian yang disinggung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. dalam salah satu haditsnya tentang sikap sejati umat Islam. Maka persoalan politik juga bagian dari masalah umat Islam yang harus ditemukan solusi hakiki sehingga benar-benar keluar dari akar masalahnya.
Dalam sistem Islam, persoalan umat diselesaikan berawal dari sistem pemerintahannya. Melalui kebijakan-kebijakan khalifah yang diterapkan tanpa keluar dari hukum syara’. Seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan sebagainya adalah bagian sistem politik pemerintahan khilafah yang integral dan saling berkaitan satu sama lainnya. Pemimpinnya seorang khalifah yang dipilih melalui bai’at untuk menjadi ra’in (pengurus) rakyatnya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maupun para khalifah sesudahnya.
Sistem pemerintahan Islam bersandar kepada kadaulatan sang Pencipta, sehingga ada standar mutlak kebenaran yang tidak dapat diperdebatkan lagi penerapannya. Sebab, roda pemerintahan adalah penggerak dari kehidupan masyarakat yang berorientasi kepada kehidupan akhirat mereka sehingga tidak layak jika aturan-aturannya bersifat abu-abu melainkan harus jelas dan terang. Lantas, bila dipertanyakan untuk siapakah sistem pemerintahan Islam ditegakkan, jawabannya jelas untuk kemashlahatan umat meraih ridho Tuhannya. Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem demokrasi hari ini yang mengadung unsur-unsur kepentingan terselubung oleh para penguasa atau kelompok elite yang ada.
Hal ini sangat banyak buktinya dalam sejarah kepemimpinan khalifah-khalifah Islam di masanya. Kekuasaan bukanlah hal yang patut diperebutkan sebab bayang-bayang penghisabannya sangat mengerikan. Namun, para generasi muslim terus dimotivasi untuk menjadi pemimpin sebab besarnya ridho Allah pada keihlasannya juga kebermanfaatannya untuk umat akan menuai pahala berlimpah dan syurga nan indah. Sehingga wajah politik dalam sistem Islam adalah wajah yang ramah terhadap rakyat juga tunduk kepada hukum syara’. Wallahu’alam bish showab.