Potensi Demografi Pemuda Mau Dibawa Kemana?

Penulis : Rahmah Khairani, S.Pd
Idemuslim.com | Muslim Youth — Indonesia adalah negeri yang sangat kaya raya baik dari segi Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Keduanya adalah anugerah dari Sang Pencipta yang harus dikelola sesuai aturannya untuk menciptakan keseimbangan agar terdistribusi dengan baik. Diantara SDM yang harus diperhatikan adalah para pemuda. Sebab pemuda adalah manusia yang berada diantara dua kelemahan -masa kanak-kanak dan masa tua- baik secara tenaga, mental, maupun pemikiran. Allah Ta’ala. berfirman, “Allah lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha mengetahui, Maha Kuasa.” (TQS. Ar-Rum: 54).
Potensi Demografi Pemuda Indonesia
Pemuda adalah kaum yang memiliki potensi besar dalam perubahan global, sebagaimana yang tercatat dalam panggung sejarah bahwa para pelaku perubahan sebagian besarnya adalah kaum muda. Di dalam Undang-Undang tentang Kepemudaan, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Di tahun 2020 lalu, Badan Pusat Statistik merilis bahwa jumlah pemuda di Indonesia mencapai 65 juta jiwa atau 24% dari total penduduk (BPS, 2020). Tentu ini bukan angka yang kecil mengingat betapa antusiasnya pemerintah demi menyambut bonus demografi yang semakin dekat.
Indonesia tengah mempersiapkan diri untuk memanfaatkan bonus demografi yang akan ditemui di sekitar tahun 2030-2045 mendatang. Ada optimisme yang dibangun bahwa Indonesia akan lebih baik di tahun-tahun tersebut. Namun, yang tidak dapat dipungkiri pemuda akan berada di antara dua kondisi apakah mereka bisa memiliki penghasilan tinggi dengan persaiangan yang semakin ketat atau justru sebaliknya. Oleh sebab itu pemerintah secara massif menggenjot semua aspek untuk diarahkan kepada pencapaian pada tahun-tahun keemasan tersebut. Pencapaian yang dimaksud tidak terlepas dari kekuatan ekonomi yang hendak diwujudkan dengan memanfaatkan potensi pemuda.
Indonesia sebagai bagian dari PBB tidak dapat lepas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan PBB termasuk yang berkenaan dengan kepemudaan. Di dalam UN Youth2030 Global Report disebutkan bahwa UN System adalah respons atas kebutuhan potensi pemuda selama berlangsungnya pandemi Covid-19 dan bagaimana mereka bekerja sama dengan pemerintah dan kaum muda untuk merealisasikan Suistainable Development Goals (SDGs). Selanjutnya dalam laporan tersebut disebutkan bahwa selama 15 tahun kedepan sejak tahun 2016 setelah dirilisnya 17 agenda SDGs 2030, semua negara yang terlibat harus mengerahkan usaha untuk mengakhiri segala bentuk kemiskinan, memerangi ketidaksetaraan, dan mengatasi perubahan iklim, sambil memastikan tidak ada satupun yang tertinggal. Menariknya, sejumlah misi ini tampak mengarah kepada pembajakan potensi pemuda oleh para kapital global.
Pembajakan Potensi Pemuda
Kebijakan pemerintah dalam memberdayakan pemuda adalah bagian dari ranah politik yang tegak berlandaskan pandangan dari sebuah ideologi. Setidaknya ada dua simbiosis antara pemberdayaan pemuda yang sangat kuat terlihat dari balik layar kebijakan yang dikeluarkan. Yaitu kepentingan kapitalis-neo liberal dan kaum liberalis-feminis. Misalnya kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang digagas Kemendikbudristek, bertujuan mengarahkan akademisi ke dalam dunia kerja dengan menghadirkan link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Jauh sebelumnya, Menkominfo mengeluarkan Gerakan Nasional 1000 start up digital dalam bentuk program pembinaan perusahaan rintisan tingkat awal sejak 2016 yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi anak-anak bangsa lewat pemanfaatan teknologi. Namun sayangnya kedua kebijakan tersebut tidak juga mampu menyelesaikan persoalan pokok ekonomi yang terepresentasi dari trend angka pengangguran dan kemiskinan yang terus meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah pengangguran terbuka di tahun 2021 berdasarkan kelompok usia produktif antara 15-29 tahun sebesar 50,09% (BPS, 2021). Jika dirata-ratakan jumlah pemuda usia 15-29 tahun berkisar 60 juta jiwa, maka jumlah pengangguran di rentang usia tersebut adalah lebih dari 30 juta orang yang 5,98% nya adalah lulusan universitas. Artinya ada sekitar 1,8 juta lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur di tahun 2021. Jumlah ini belum termasuk rentang usia di atasnya dan data di tahun-tahun berikutnya.
Universitas sebagai lembaga yang berkomitmen melahirkan para intelektual cerdas, berjiwa kepemimpinan serta sebagai problem solver, terjebak dengan model triple helix UBG yang mendorong para lulusan (University) dapat terserap oleh industri (Bussiness) dengan jalan yang difasilitasi oleh negara (Government). Ini adalah sebuah bentuk pembajakan potensi para intelektual yang dibuat “kerdil” hanya untuk mengisi ruang-ruang buruh kapitalis. Sedangkan di sisi lain mimpi besar membuka lapangan pekerjaan lewat 1000 start up digital tidak berkorelasi dengan tersedianya iklim yang kondusif atas persaingan maupun sarana dan pra-sarana yang memadai. Disamping itu ketidak jelasan sumber pendanaan, hanya menjadikan mimpi ini menguap menyisakan ironi. Maka tidak salah jika muncul sebuah pertanyaan, apakah pemerintah serius mengarahkan potensi pemuda ke arah perbaikan negeri atau justru menggadaikannya kepada kepentingan para pemilik modal sembari mengambil “remah-remah” dari transaksi tersebut.
Bergaining Position Pemuda
Selain bertujuan memerangi kemiskinan, UN Youth2030 Global Report juga menyebutkan isu ketidakseteraan dalam tujuan pokoknya. Di negeri ini usaha pemerintah untuk menaikkan isu-isu kesetaraan gender tertuang dalam RUU PK-S yang sampai hari ini masih menunggu keputusan. Namun, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 isu gender menempati posisi pertama pengarus utamaan. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaran gender dalam pembangunan nasional (Kementrian PPN/Bappenas). PUG ditarik dari berbagai aspek, diantaranya kesenjangan gender di bidang pendidikan, status kesehatan perempuan yang rendah, tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja yang rendah, keterwakilan perempuan dalam bidang politik masih rendah, dan sebagianya. Semua ini, bermuara pada satu tujuan yakni, pemberdayaan perempuan usia produktif dalam pembangunan ekonomi nasional.
Jumlah pemuda yang mendominasi di negeri ini pada faktanya tidak memiliki bergaining position yang baik. Status negara berkembang yang melekat menjadikan Indonesia terus-menerus berada di wilayah konsumen bukan produsen. Negara adidayalah yang menjadi produsen utama menjual produk-produk mereka yang dipaksakan masuk ke wilayah circel jajahannya dengan ikatan-ikatan perjanjian internasional. Masalah semakin kompleks saat produk berbentuk teknologi, barang atau jasa yang diimpor masuk bersamaan dengan pemahaman dan budaya asing. Sebab, hal ini akan memperpanjang umur penjajahan yang mencengkeram karena ada legitimasi oleh para intelektual berupa penjagaan terhadap nilai-nilai pemikiran dan budaya asing yang masuk.
Inilah diantara bukti bahwa pembajakan potensi pemuda tidak hanya di bidang ekonomi semata tetapi juga dalam bidang pendidikan, sosial, dan undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah terlihat tidak independen dalam menentukan arah pembangunan SDM/pemuda. Jelas bahwa hal ini adalah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme-liberal yang selalu menjadikan keuntungan sebagai tolak ukur kebijakannya. Akibatnya antara problem dan solusi tidak kunjung bertemu justru malah menambah masalah baru yang kian ruwet.
Pemberdayaan Pemuda Dalam Islam
Di dalam sistem Islam, pemberdayaan pemuda masuk dalam wilayah ri’ayah syu’un yakni negara berperan sebagai ra’in (pengurus) bukan fasilitator antara rakyat dengan pemilik modal. Kepengurusan negara berjalan di atas prinsip demi kepentingan bersama bukan hanya kepentingan negara dan mengorbankan rakyat. Oleh sebab itu, negara memperhatikan pemenuhan hak-hak rakyat disamping negara juga diawasi oleh rakyat.
Islam memandang bahwa pemuda adalah aset berharga yang potensinya harus diarahkan demi kepentingan kolektif. Negara akan menyelenggarakan supra sistem untuk menjalankan perannya di segala bidang kehidupan. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan oleh negara secara gratis sehingga rakyat dapan optimal dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya. Para pelajar dimotivasi untuk menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kemashlahatan umat. Merekalah “otak” yang akan mengelola Sumber Daya Alam sampai berubah menjadi energi yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan seperti para pelajar di era kapitalis hari ini yang didorong untuk menghasilkan ide-ide mengolah sumber daya alternatif sebab SDA mereka tengah “dirampok” oleh asing.
Selain itu, potensi pemuda dalam aspek kekuatan fisik dan kepribadian diarahkan untuk politik dakwah dan jihad ke luar negeri. Hal ini tentu membutuhkan pembangunan kepribadian Islam yang kokoh demi terbentuknya prajurit tangguh yang siap mati membela agama. Juga dibutuhkan pembangunan industri alat berat, pendanaan terhadap penelitian dalam bidang persenjataan canggih, serta pelatihan militer yang independen agar kokoh di hadapan negara-negara lain.
Hal yang tidak boleh terlupakan adalah pemberdayaan pemuda dalam aspek keilmuan terutama pada ilmu-ilmu tsaqofah Islam. Negara mewajibkan berlangsungnya pembinaan baik akhlak maupun ilmu agar warisan ilmu para ulama terus mengalir menghasilkan pemimpin yang bertaqwa dan cemerlang. Inilah “wadah” yang membidani kepribadian seluruh umat. Sebab pemahaman Islam yang shahih akan menjaga penerapan Islam yang sempurna.
Oleh sebab itu, umat Islam hari ini wajib memahami agama ini dengan mempelajarinya secara mendalam dan benar. Mereka harus menyadari bahwa Islam merupakan sistem sempurna yang diturunkan Sang Pencipta kepada manusia, dan mengamalkannya adalah konsekuensi dari keimanan. Allah Ta’ala berfirman,
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. An-Nisa’:65)
Menjadikan Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam sebagai hakim adalah menjadikan Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan dalam kehidupan, bukan hanya ranah ibadah ritual namun seluruh aspek termasuk sistem negara. Maka dibutuhkan dakwah secara jama’ah untuk memahamkan umat terhadap kewajiban penyelenggaraan agama yang sempurna ini, sehingga umat tercerahkan dan sadar pentingnya hidup dalam naungan syari’ah Islam kaffah agar sirna kedzaliman dan terbit kesejahteraan. Wallahu’alam.