Potret Keteladanan Ulama dalam Menuntut Ilmu

Oleh : Abdullah Efendy, S.Pd., CLMQ
Idemuslim.com | JEJAK ULAMA — Kita tentu merasa heran dengan keilmuan para ulama dimasa dahulu. Di jaman Rasulullah dan para sahabat hidup, begitu banyak para penghafal Al-Qur’an dan ribuan hadist diantara mereka. Dilanjutkan pada generasi tabi’in dan tabi’ut tabiin. Imam Syafi’i misalnya, yang digelari Nashir As-Sunnah (Pembela sunnah), menguasai Al-Qur’an sedari kecil, meriwayatkan 1675 hadist dan menulis kitab fenomenal Ushul Fiqh, yakni Ar-Risalah. Imam Bukhari, juga sama! Sempat mengalami kebutaan, namun Allah mengembalikannya dan memberikan kesembuhan. Mulai belajar hadist sejak usia 10 tahun, dan mulai menlis kitab di usia 18 tahun. Karya pertama beliau yakni Qadlaya al-Sahabah wa al-Tabi’in. Beliau juga menulis biografi dari 1000-an ulama dalam kitab At-tarikhnya. Diketahui beliau telah hafal lebih kurang 100.000 hadist shahih sanad dan matannya. Serta hafal 200.000 hadist tidak shahih, sanad dan matannya.
Tentu, masih banyak para ulama lainnya seperti Imam Qatadah, Imam Muslim, Imam Ghazali rahimahullah dan lainnya yang merupakan ulama kharismatik dan berjasa besar bagi umat. Lalu bagaimanakah potret keseharian mereka, menurut referensi yang terpercaya! Bagaimana mereka menghabiskan 1×24 jam dalam kehidupan mereka? Berikut beberapa kisah yang menceritakannya!!
40 Tahun Tidak Tidur Kecuali Sebuah Buku Tergeletak di Atas Dada
Al-Hafidzh Jahizh dalam bukunya Al-Hayawan menuturkan bahwasanya dia mendengar Hasan Al-Lu’luai (sahabat Imam Abu Hanifah) berkata, “Selama 40 tahun, aku tidak tidur siang ataupun tidur malam, serta tidak beristirahat sambil bersandar kecuali ada sebuah buku yang tergeletak di atas dadaku.”
Kecintaannya Membaca Buku Tak Tertandingi
Yaqut Al-Hamawi dalam bukunya Irsyad Al-Arib menyebutkan dalam biografi Al-Jahizh bahwasanya Abu Hiffan pernah menuturkan, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar seorang pun yang paling mencintai buku maupun ilmu dari pada Al-Jahizh, tidak satupun buku beliau pegang kecuali beliau selesaikan membacanya walau di keadaan apapun. Hingga beliau sempat menyewa beberapa toko buku dan kertas. Kemudian bermalam disana sekedar untuk membaca.
Membaca dan Belajar Adalah Cita-Cita Tertinggi
As-Sakhawi dalam bukunya al-Jahawir wa Ad-Durar menerangkan tentang gurunya Ibnu Hajar, “Cita-citanya hanya terfokus untuk menelaah, membaca, mendengar, beribadah, mengarang buku serta mengajar. Tidak ada waktu sedikitpun yang beliau lewati kecuali selalu terisi dengan kebiasaannya tersebut. Hingga di waktu makan ataupun safarnya. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan teman-temannya kepadaku, saat mereka bersama beliau disebuah perjalanan. Jika Allah menghendaki sesuatu, beliau pun mempersiapkan semua penyebabnya.
Bersama Buku Lebih Mulia Daripada Bersama Ajudan
Al Jahizh dalam bukunya Al-Hayawan menuturkan, “Sungguh aku pernah menemui Ishaq bin Sulaiman di dalam istana kekuasaannya. Maka aku pun melihat ada dua baris tentaranya serta orang-orang yang tegap dan diam seolah-olah mereka adalah burung. Aku pun sempat melihat permadani serta perabotan-perabotannya. Aku menemuinya tatkala dia sedang bersendirian di perpustakaan pribadinya. Di sekelilingnya terdapat beberapa keranjang, kertas tulis, tas ransel, buku catatan, penggaris serta tempat tinta.
Kelezatan Dalam Memburu Buku dan Mendapatkannya
Adz-Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An-Nubala’ menyebutkan dalam biografi Al-Mustanshir Billah Abul Ash Al-Hakam bin Abdurahman Al-Umawi, pemimpin Andalus, “Dia adalah orang yang mengukir riwayat hidupnya dengan indah, penuh dengan keutamaan. Dia memiliki kecintaan mendalam untuk membaca serta memburu buku-buku berkualitas dan bermutu. Beliau pun memperoleh 200 ribu buku.
Beliau selalu membelanjakan emasnya sekadar untuk mendapatkan buku-buku, lalu membayarnya sesuai harga yang ditawarkan penjualnya. Sehingga lemari-lemari yang dimilikinya pun terlalu sempit dan tidak bisa menampun semua buku-bukunya. Baginya tidak ada kenikmatan bagianya kecuali pada buku-buku yang telah didapatkannya.
MasyaAllah!! Luar biasa bukan? Disamping keseharian yang dipenuhi dengan keistiqomahan mempelajari ilmu. Tentu, faktor utama yang sangat penting bagi para ulama saat itu, adalah kondisi masyarakat dan peran negara. Di jaman keberadaan para ulama yang kami sebutkan diatas, dikenal dengan abad kejayaan Islam. Mereka hidup dalam sebuah peradaban dimana keburukan berubah menjadi kebaikan. Di lingkungan yang masyarakatnya taat menjalankan perintah Allah. Jaman itu dikenal dengan zaman Khilafah Islamiyah yang pernah ada 14 abad lamanya.
Disaat itu, Pendidikan adalah prioritas penting dan diberikan secara cuma-cuma. Negara memfasilitasi para guru dengan gaji yang mencukupi kehidupan primer dan sekunder mereka. Fasilitas sekolah, program beasiswa, hingga kitab-kitab dipersiapkan dengan kualitas yang terbaik. Akidah Islam, menjadi dasar kurikulum sekolahnya. Ketaatan negara secara kaffah pada syariat Allah, begitupun masyarakatnya, menjadi kunci turunnya rahmat dan keberkahan. Maka dikondisi peradaban demikian, tidak heran jika banyak pelajar kaum muslimin yang terdidik menjadi ulama. Sebab, mereka bisa focus dalam mempelajari ilmu dari suatu negeri ke negeri lain, tanpa kekhawatiran akan diri mereka, biaya Pendidikan, atau bahkan keamanan mereka. Semoga kita bisa mengambil ibrah dari kisah ini, serta melejitkan kerinduan akan hadirnya Islam kaffah di tengah-tengah kita. Wa ma taufiqi illa billah []
Semoga semakin banyak umat yang tercerahkan dengan pemikiran islam