Resolusi 2022: Yuk Hijrah Kaffah!

Penulis : Rahmah Khairani
Idemuslim.com, MUSLIM YOUTH — Setiap awal tahun biasanya selalu diwarnai dengan resolusi-resolusi membangun atas target-target kehidupan yang belum tercapai di tahun lalu, atau cita-cita baru yang ingin diwujudkan agar kebahagiaan bisa diraih. Tahun lalu yang sholatnya masih bolong-bolong, bertekad agar di tahun ini sholatnya bisa full. Tahun lalu yang belum istiqomah berhijab syar’i, bertekad agar di tahun ini bisa istiqomah menutup aurat dengan sempurna. Tahun lalu yang ibadahnya masih sekedar saja, bertekad di tahun ini menambah ilmu lagi agar ibadahnya semakin berkualitas. Setiap orang yang bertekad kuat tentu sangat menikmati proses hijrahnya. Menyiapkan list to do di awal hari, memulai hari-hari dengan semangat positif sambil terus mengejar ketertinggalan target-targetnya. Semua itu dapat berjalan mulus jika kita punya keistiqomahan, juga harus senantiasa diminta dari Dzat pemiliki alam semesta. Namun, satu hal terpenting yang tidak boleh luput dari hidup kita adalah resolusi menghadapi pemutus kehidupan, yaitu kematian.
Dari Al Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata “Dahulu kami pernah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. dalam mengantar jenazah kemudian beliau duduk di tepi kuburan lalu beliau menangis hingga membasahi tanah kemudian beliau bersabda, ‘Wahai saudara-saudaraku, untuk perkara yang semisal inilah hendaklah kalian mempersiapkan diri!’” (Shahih Ibnu Majah 2402). Mempersiapkan kematian adalah aktivitas yang cerdas bagi seorang muslim. Karena seorang muslim telah memahami tentang adanya hari akhir yang akan berakhir di salah satu dari dua tempat kembali abadi, yakni syurga atau neraka. Oleh sebab itu, tidak ada yang perlu dipersiapkan untuk akhirat kecuali sebaik-baik bekal, dan bekal terbaik bagi orang beriman adalah taqwa.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. saat beliau mengutusnya ke Yaman untuk menjadi Wali. Beliau berpesan, “Bertakwalah engkau kepada Allah dimanapun, kapanpun, dalam keadaan bagaimanapun…” (HR. At-Tirmidzi). Banyak ulama mendefinisikan kata takwa dengan melaksanakan seluruh perintah Allah Ta’ala. dan menjauhi semua laranganNya serta menetapi hukum-hukumNya. Masih terkait dengan takwa, ulama salaf juga berpendapat bahwa takwa juga bisa diartikan meninggalkan banyak hal yang mubah (halal) hanya karena takut terjatuh pada keharaman. Oleh karena itu, sikap wara’ (takut terjatuh ke dalam dosa) dan takut kepada Allah adalah hakikat takwa. Sayyid bin al-Musayyib pernah ditanya seseorang, “Bagaimana takwa itu?” Ia balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, jika engkau berjalan di jalanan yang penuh duri?” Orang itu menjawab, “Saya tentu akan hati-hati dan berusaha menghindari duri-duri itu agar tidak melukai kaki saya.” Sayyid bin al-Musayyib kemudian berkata, “Itulah takwa yakni engkau menghindari berbagai ‘duri’ kemaksiatan.”
Menjadi insan bertaqwa bagi seorang muslim adalah puncak ketinggian jiwa, oleh sebab itu untuk meraihnya bukanlah perkara yang mudah. Bahkan bertambah sulit dengan suasana kehidupan sekuler-liberal yang mengepung dari setiap lini kehidupan. Segudang problematika umat tidak pernah berhenti menjadi topik berita sehari-hari. Mulai dari dikelolanya Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah oleh asing, pejabat yang membangun gurita oligarki, ekonomi yang kerap resesi, korupsi marak di semua lini, politik uang menjadi tradisi, moral bangsa terus teregradasi, kualitas pendidikan tidak mumpuni, kriminalitas marak, angka perceraian tinggi, hingga kekerasan pada perempuan pun hari ini terus terjadi. Hal ini membuktikan bahwa ketakwaan adalah sikap yang harus dimiliki oleh umat baik dalam ranah pribadi maupun secara kolektif dan kenegaraan. Sebab perintah dan larangan Allah Ta’ala. yang menjadi indikator dorongan ketakwaan tidak berkutat pada masalah ibadah mahdhah saja, tetapi juga melingkupi hukum-hukum pengaturan bermasyarakat dan bernegara.
Faktanya di dalam sistem kapitalisme-liberal yang berkuasa hari ini kehidupan manusia dibentuk berdasarkan asas kebebasan demi tercapainya kebahagiaan duniawi. Pandangan hidup masyarakat dituntun agar berkiblat ke barat selaras dengan invasi budaya-politik yang menyerang negeri-negeri kaum muslimin. Maraknya propaganda dan serangan pemikiran barat yang diaruskan melalui fun, food, and fashion seringkali tidak disadari umat sebagai racun berbisa yang menjerumuskan. Serangan pemikiran ini kini bermutasi menjadi “bunglon” yang menyamar masuk seolah-olah bernafaskan Islami. Atas nama toleransi, dan pluralis, wacana moderasi beragama marak dikampanyekan mulai dari sekolah kanak-kanak hingga tercantu dalam kebijakan nasional. Akibatnya, sebagian ulama dan tokoh-tokoh muslim ikut mensukseskan agenda racun berbalut madu ini. Ini adalah sebuah jebakan sistemik yang muncul dari penerapan sistem kapitalis-sekuler. Padahal negara seharusnya menjalankan peran untuk mengedukasi warganya menjadi umat yang berkepribadian Islam. Namun hal tersebut tidak mungkin terjadi dalam negara bersistem sekuler. Oleh sebab itu, kaum muslimin harus menyadarinya dan melakukan upaya untuk menghilangkan segala bentuk kesesatan.
Maka, resolusi seorang muslim di awal tahun ini harus berorientasi pada terwujudnya sifat taqwa. Zubair ibn Al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu tertulis, “Amma ba’du, sungguh orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Al-Qur’an.” Lantas bagaimana cara agar kita bisa mewujudkan sifat taqwa secara kaffah?
Ada dua cara untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik di tahun ini. Pertama, mengkaji Islam secara kaffah. Belajarnya harus dengan guru yang mumpuni dalam tsaqofah keilmuan agar ilmu yang kita pelajari membawa keberkahan. Dengan begitu kita bisa punya kepribadian Islam sekokoh para sahabat dahulu yang mampu mempersiapkan kehidupan akhirat mereka dengan baik. Di samping itu, dengan memiliki kepribadian Islam seorang muslim tidak akan mudah terikut kepada pemikiran-pemikiran kapitalis yang berkembang saat ini. Kedua, mendakhwahkan ilmu yang telah diperoleh. Caranya dengan mencari circle pertemanan yang memiliki visi sama untuk yaitu memperjuangkan syari’ah Islam. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan amar makruf nahi mungkar. Hal ini akan menjauhkan kita dari pertemanan yang menjadikan dunia sebagai orientasinya. Padahal mengejar kesenangan dunia adalah hal yang melenakan kita dan malah menjauhkan dari kebahagiaan di akhirat kelak. Wallahu’alam bish showab. []
Masya Allah tabarakallah
Mantul banget tulisannya
Syukron jazakillah Khoir