DakwahOpini

Suami KDRT Kepada Istri, Bolehkah Dalam Islam?

Oleh: Siti Khadijah Sihombing, S.Pd (Aktivis Dakwah)

Idemuslim.com, OPINI —  Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita seorang suami di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah menganiaya istrinya dengan tabung gas 3 kilogram karena tersulut emosi. Awalnya pelaku AW dan korban TYD ribut di dapur, sampai pelaku mencekik bagian leher sampai mendorong korban hingga terjatuh ke lantai dapur. Setelah itu pelaku menghantamkan gas elpiji 3 kg yang mengakibatkan luka robek di bagian dahi korban. (m.liputan6.com, 20/10/2022)

Ada lagi kasus yang lebih ngeri. Seorang wanita warga Semarang berinisial LA ditemukan tewas di rumahnya, korban diduga mengalami penganiayaan oleh suaminya hingga tewas. Saat ditemukan, korban tidur terlentang, mukanya tertutup bantal atau guling. (detik.com, 23/10/2022)

Mengerikan sekali memang jika saat ada perselisihan seorang suami melakukan tindak kekerasan, apalagi sampai melukai dan menghabisi nyawa seorang istri. Ini adalah tindak kriminal yang harusnya menjadi perhatian kita. Sebab seorang suami yang harusnya mengayomi istrinya tetapi ini malah menjadi monster yang mengerikan sampai melukai dan menghabisi nyawa.

Gila sekali memang, jika kita tidak bisa menahan emosi kita. Maka syaitan akan menggoda kita agar bertindak diluar nalar manusia. Jadi, disinilah dibutuhkan keimanan dan ketaqwaan setiap individu manusia agar mereka bisa mengontrol emosinya walaupun dalam keadaan marah sekali pun. Sebab jika kita marah maka pintu masuknya syaitan itu akan gampang dan kita akan sadar itu salah setelah kejadian itu telah terjadi. Maka penyesalanlah yang akan datang. Dan ini tidaklah berguna lagi sebab kejadian yang mengerikan sudah terjadi.

Bolehkah sebenarnya seorang suami memukul istrinya jika melanggar hukum syara’?

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh fukaha, bahwa boleh (jaiz) hukumnya suami memukul istrinya jika terdapat padanya tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) kepada suami, misalnya keluar rumah tanpa izin suami, tidak mau melayani suami padahal tidak punya uzur (misal haid atau sakit), atau tidak amanah menjaga harta suami, dan sebagainya (Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 4/487; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/59; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/15; Imam Al Kasani, Bada`i’us Shana`i’, 3/613; Imam Nawawi, Al Majmu’, 16/445; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 35/15; Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).

 وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

Dalil kebolehannya firman Allah Ta’ala; (artinya), “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (TQS An-Nisa [4] : 34)

Ayat ini menunjukkan suami berhak mendidik istrinya yang menampakkan gejala nusyuz dalam tiga tahapan secara tertib sebagai berikut:

  • Pertama, menasihati istri dengan lembut agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami adalah wajib atas istri (lihat QS Al-Baqarah [2] : 228).
  • Kedua, memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya, yakni tidak menggauli dan tidak tidur bersama istri, tetapi tidak boleh mendiamkan istri. Langkah kedua ini ditempuh jika tahap pertama tidak berhasil.
  • Ketiga, memukul istri. Langkah ini dilakukan jika tahap kedua tidak berhasil. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/51; M. Ahmad Abdul Ghani, Al ‘Adalah fi An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 67).

Namun, meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata, ”Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih). Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah saw. terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhotbah, ’Jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah ra.). (Taqiyuddin an-Nabhani, An Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm.153).

Para ulama banyak menguraikan bagaimana ukuran pukulan ringan tersebut. Pukulan itu tidak boleh menimbulkan luka, tidak boleh sampai mematahkan tulang, atau sampai merusak/mengubah daging tubuh (misal sampai memar/tersayat). (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 5/261).

Baca Juga :

Pukulan itu bukan pukulan yang menyakitkan, juga harus dilakukan pada anggota tubuh yang aman, misal bahu, bukan pada anggota tubuh yang rawan atau membahayakan, misalnya perut. Jika menggunakan alat pun tak boleh alat yang besar seperti cambuk/tongkat, tapi cukup dengan siwak (semacam sikat gigi) atau yang semisalnya. (Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi, Syarah Uqudul Lujain, hlm. 5; Wahbah Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 5/55-56, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/329).

Islam juga menjelaskan haram hukumnya suami memukul/menampar wajah istrinya, sesuai hadis Mu’awiyah al-Qusyairi ra., ”Bahwa Nabi saw. pernah ditanya seorang laki-laki, ‘Apa hak seorang istri atas suaminya?’ Nabi saw. menjawab, ’Kamu beri dia makan jika kamu makan, kamu beri dia pakaian jika kamu berpakaian, jangan kamu pukul wajahnya, jangan kamu jelek-jelekkan dia, jangan kamu menjauhkan diri darinya kecuali masih di dalam rumah.’” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/310).

Bahkan meski memukul istri itu boleh, tetapi yang lebih utama adalah memaafkan, yaitu tidak memukul istri. Imam Syafii meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ”Orang-orang terbaik di antara kamu, tidak akan pernah memukul istrinya.” (Imam Syafi’i, Al-Umm, 5/1871). (muslimahnews.net, 13/10/2022)

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah sudah bahwa melakukan tindakan kekerasan oleh seorang suami terhadap istrinya itu tidak dibenarkan dalam Islam. Menghukum seorang istri boleh dilakukan dengan hukuman yang diperbolehkan syarak. Makanya seorang suami dan istri itu harus memiliki keimanan yang kokoh agar bisa berpikir jernih saat marah bukan mengikuti hawa nafsu.

Untuk menjaga keimanan dan ketaqwaan individu maka suami istri haruslah selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara terus mengkaji islam supaya meningkatlah ilmu agama dan ini bisa menjaga kewarasan setiap pasangan. Dan juga harus ada kontrol dari masyarakat untuk selalu mengingatkan saudaranya yang sudah melanggar hukum syarak agar tetap terjaga keimanan tersebut. Serta juga harus ada kontrol dari negara yang memberikan fasilitas terbaik untuk rakyatnya agar mereka selalu berada dalam koridor ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Ini semua tidak akan kita dapatkan dalam sistem Kapitalisme hari ini. Sebab sistem Kapitalisme itu berasaskan kebebasan individu, dimana setiap orang bebas melakukan apa saja yang ingin dia lakukan selagi tidak merugikan orang lain. Tetapi apabila sampai merugikan, maka kejadian itu baru ditindak dengan diberi hukuman yang terkadang timpang tindih. Sebab sistem Kapitalisme adalah sistem buatan manusia dimana manusia yang lemah, terbatas dan serba kurang ini jika membuat aturan maka aturannya pasti sesuai seleranya dan tidak akan mampu memberikan kesejahteraan untuk seluruh umat manusia.

Jadi, yang bisa memberikan kesejahteraan untuk umat adalah jika kita hidup dalam naungan sistem Islam kaffah. Sebab dalam sistem Islam kaffah segala aturannya itu berasal dari Allah, pencipta manusia. Pastinya Allah sebagai Pencipta yang paling tau apa yang hamba-Nya butuhkan. Kita sebagai manusia harusnya menjalankan saja aturan apa yang sudah Allah tetapkan. Sistem Islam kaffah ini juga sudah Rasulullah contohkan dan sudah diterapkan 1400 tahun lamanya sebelum keruntuhannya 3 Maret 1924. Wallahu’alam bishowab []

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button