Fiqih

Yang Diharamkan Bagi Orang yang Berhadast!

Oleh : Zahara Amalia

Idemuslim.com, FIQIHHadast adalah sesuatu yang terjadi dibadan, yang menghalangi sahnya shalat kecuali diperbolehkan dalam dua keadaan :

  1. Hadats Kecil : sesuatu yang diwajibkan berwudhu’.
  2. Hadats Besar : sesuatu yang diwajibkan untuk mandi.

Sesuatu yang diharamkan bagi orang yang berhadast, junub, dan haid ada empat:

  1. Shalat, baik fardhu maupun nafilah, demikian juga yang semisal dengan shalat, yaitu sujud tilawah, sujud syukur, khutbah jum’at, dan shalat jenazah.
  2. Thawaf, baik fardhu maupun nafilah,karena ia menempati kedudukan seperti shalat.
  3. Menyentuh Mushaf. Yang dimaksud dengan mushaf adalah sesuatu yang ditulis didalamnya ayat Qur’an seluruhnya atau hanya sebagian ayat saja. Jika berniat untuk membaca (tilawah) tidak diperbolehkan. Melainkan hanya boleh untuk belajar (dirosah).
  4. Membawa Mushaf, tidak boleh dibawa oleh orang baligh yang berhadast, junub, dan haid kecuali membawa mushaf disertai dengan hail (penghalang). Didalamnya terdapat empat keadaan :
  • Terkadang seseorang bermaksud semata-mata membawa mushaf saja. Ini tidak diperbolehkan.
  • Terkadang seseorang bermaksud membawa mushaf, tetapi niatnya dengan memegang penghalangnya. Maka ini boleh.
  • Terkadang seseorang bermaksud membawa mushaf tetapi dengan niat memegang Al- Qur’an sekaligus penghalangnya. Maka ini tidak dibolehkan menurut Ibnu Hajar. Tetapi Imam Romli memperbolehkan.
  • Terkadang seseorang bermaksud membawa mushaf tetapi tidak dengan niat keduanya. Maka ini tidak diperbolehkan sebagaimana pendapat Ibnu Hajar. Tetapi Imam Romli membolehkan.

Permasalahan dalam menyentuh mushaf dan membawanya:

  1. Dibolehkan membawa mushaf dan menyentuhnya bagi anak-anak yang sudah mumayyiz untuk keperluan belajar saja menurut Ibnu Hajar dan Imam Romli.
  2. Tidak diperbolehkan menyentuh dan membawa sampul (cover) mushaf kecuali sampulnya sudah terpisah dari bagian mushafnya.
  3. Diharamkan menyentuh dari seluruh arah atau sisi jika Al-Qur’an diletakkan atau disatukan dengan selainnya, misal terdapat kitab Fiqh, lalu diatasnya kitab fiqh diletakkan Al-Qur’an diatasnya. Ini menurut pendapat Ibnu Hajar. Adapun Imam Romli diharamkan menyentuh sebagian sisi yg terdapat Al-Qur’an saja.
  4. Dibolehkan bagi orang yang berhadast untuk membawa Al-Qur’an jika dalam keadaan darurat yang tidak memungkinkan seseorang untuk bertayamum. Sebagimana jika ia takut mushaf tersebut dibakar atau dilecehkan atau dihinakan. Maka wajib baginya untuk melindungi mushaf tersebut.
  5. Apabila Al-Qur’an dan Tafsir dalam satu kitab (buku). Maka boleh untuk menyentuh dan membawanya, walaupun lebih banyak jumlah huruf dalam kitab Tafsir dari pada jumlah huruf dalam Al-Qur’an. Namun, apabila huruf didalam Tafsir dan Al-Qur’an sama, atau lebih sedikit huruf dalam kitab Tafsir, maka diharamkan menyentuh dan membawanya.
  6. Dibolehkan bagi orang yang berhadast membalikkan halaman mushaf dengan menggunakan tongkat atau benda lain. Tidak menggunakan tangannya sendiri. Walaupun tangannya sendiri dilapisi dengan sesuatu yang lain.
  7. Diharamkan menyentuh dan membawa mushaf jika masih terdapat hubungan dengan mushaf didalamnya. Semisal kotak mushaf, tas mushaf. Jika tidak terdapat mushaf didalamnya, tidak mengapa.

Yang diharamkan bagi seseorang yang junub dan haid. Terdapat dua :

  1. Berdiam diri dimasjid, semisal keluar masuk masjid. Dan dibolehkan jika hanya melewati masjid. Begitu juga dengan orang yang haid, boleh melewati masjid jika tidak dikhawatirkan menodai masjid karena haidnya.
  2. Membaca Al-Qur’an dengan niat membaca, seperti tilawah untuk belajar. Dan dalam masalah ini terdapat dua keadaan :
  • Terkadang membaca dengan niat tilawah Al-Qur’an saja. Maka ini diharamkan.
  • Terkadang membaca Al-Qur’an dengan niat selain tilawah Al-Qur’an. Maka ini tidaklah haram atau diperbolehkan. Semisal membaca Al-Qur’an untuk membentengi diri, dan tabarruk.
  • Terkadang dimaksudkan untuk keduanya. Maka diharamkan
  • Terkadang tidak dimaksudkan untuk salah satunya. Maka ini tidaklah haram.

Sesuatu yang diharamkan bagi orang yang haid:

  1. Jika telah selesai haid dihalalkan bagi seorang perempuan untuk berpuasa, walaupun belum mandi setelah haid.
  2. Tidak diperbolehkan melewati masjid jika ia khawatir untuk menodai masjid tersebut. Dibolehkan ia melewati masjid jika ia tidak khawatir menodai masjid tersebut.
  3. Talak ketika dalam keadaan haid disebut “Talak Bid’iy“. Yaitu, seorang lelaki mentalak istrinya yang telah dijima’ (disetubuhi) sebelumnya. Dan seorang istri dalam keadaan haid, maka haram mentalaknya. Talak tersebut dapat berlaku ketika seorang istri telah selesai haidnya walaupun belum mandi suci.
  4. Bersenang-senang (Istimta’) dan bersentuhan diantara pusar dan lutut. Terdapat ikhtilaf di antara Fuqaha’:
  • Sebagian fuqaha’ mengibaratkan Istimta’ diperbolehkan walau melihatnya dengan syahwat, dan diharamkan menyentuh walau tidak terdapat syahwat. Diantaranya pendapat Syaikh Al-Islam Zakariyya dan Ibnu Hajar dalam kitab At-Tuhfah.
  • Sebagian fuqaha’ mengibaratkan Istimta’ diharamkan melihat dengan syahwat, dan tidak diharamkan menyentuh tanpa syahwat. Diantaranya pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah, dan Ibnu Ruslan, dan Ibnu Hajar di selain kitab At-Tuhfah, dan Imam Romli.

Maka hasil dari ikhtilaf para fuqaha’ adalah :

  1. Bahwa yang diharamkan dengan Ittifaq adalah al-watho’ (bersetubuh) dan bersentuhan dengan syahwat.
  2. Bahwa yang diperbolehkan dengan Ittifaq adalah memandang atau melihat tanpa syahwat.
  3. Dan yang terjadi khilaf didalamnya adalah menyentuh tanpa syahwat dan melihat dengan syahwat.

Maka, Imam an-Nawawi memilih bahwa yang diharamkan al-watho’ saja. Dan imam an-Nawawi mempertimbangkan dalam kitab lain “Al Majmu“, bahwa menyentuh dengan syahwat selain farji (kemaluan) diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang memiliki derajat taqwa. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki derajat taqwa.

Show More

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button