
Idemuslim.com, MILLENIAL TALK — Setiap orang pasti membutuhkan kehidupan yang aman, tentram, damai dan sentosa. Untuk mendapatkan perasaan-perasaan tadi ada yang mengorbankan lima hari untuk full day di pekerjaan, agar bisa family time di akhir pekan. Ada yang tertatih melunasi segala cicilan lima tahun pertama pasca menikah, agar bisa lebih tenang di tahun-tahun setelahnya. Selain itu, juga menjadi keumuman bagi masyarakat kita bahwa, berlelah-lelah menyelesaikan studi di setiap jenjang pendidikan adalah kewajaran jika ingin hidup lebih nyaman setelahnya. Setelah mendapat pekerjaan yang menghasilkan profit besar, kehidupan pun kembali ke situasi pertama, kedua, dan seterusnya.
Setiap profesi tentu memiliki konsekuensi yang harus ditebus dengan pengorbanan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, pengorbanannya tentu semakin tinggi pula. Pengorbanan orang tua dengan anak lima tentu lebih banyak ketimbang orang tua anak satu. Pengorbanan seorang Direktur tentu lebih besar daripada pegawainya. Pengorbanan pengemban dakwah tentu lebih tinggi daripada masyarakat awam. Demikian seterusnya hingga kita menyadari bahwa dunia ini telah dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan dari orang-orang sebelum kita. Maka wajar ada istilah “demi anak cucu” pada kata-kata bijak orang dewasa. Al-Qur’an juga telah mengajarkan sebuah do’a yang membuat kita selalu ingat pengorbanan orang-orang beriman terdahulu, “…Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Hasyr:10)
Orang yang menanam pohon durian hari ini, buahnya dapat dinikmati oleh anak cucunya, namun belum tentu dia juga sempat merasakannya. Pertanyaannya, apakah dia menanam dengan tujuan menikmati buahnya atau menanam hanya karena ingin berbuat kebaikan saja? Pertanyaan serupa juga bisa diajukan kepada siapa saja yang telah mengorbankan sesuatu dari dirinya, hidupnya, dan kebahagiannya demi sesuatu yang lain. Apakah tujuannya untuk mendapatkan feed back yang lebih baik untuk ketentraman dirinya sendiri atau ada alasan lain yang jauh melampauinya.
Masyarakat kapitalis-sekuler terbiasa mengukur segala sesuatu dengan nilai-nilai duniawi. Oleh sebab itu, bagi mereka kebahagiaan dipandang sebagai suatu kepuasaan dari pemenuhan yang harus diraih sebanyak-banyaknya untuk tujuan akhir yaitu masuk ke zona nyaman. Orang tidak akan merasa aman dan nyaman jika masih merasa sedih, khawatir, takut, kecewa, bosan, bingung, resah, gelisah, dan energi-energi negatif lainnya. Sebaliknya, bahagia, senang, gembira, adalah ekspresi dari kondisi aman dan nyaman. Bagi mereka yang imannya lemah, menenggak alkohol atau mengonsumsi narkoba adalah pelarian dari kegetiran hidup agar mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Meskipun sifatnya temporal dan berakibat buruk bagi raga, namun semakin hari pecandunya semakin banyak. Demikian juga orang-orang yang meraih kekayaan dengan cara instan yang illegal, meskipun sifatnya temporal dan mendatangkan kegelisahan, tapi kasusnya juga tidak pernah surut. Lagi-lagi yang dicari adalah aman dan nyaman, meskipun sesaat.
Baca Juga :
- Ketika Engkau Tidak Layak, Mudah Bagi Allah Menggantikanmu!
- Islam Jalan Keluar Semua Masalah Kehidupan
- Tetap Istiqomah Menuju Kemenangan Idul Fitri
- Kisah Hijrah Total Mantan Begal
Semakin kesini, akhirnya kita menyadari bahwa manusia terbiasa untuk mencari dan terus mencari zona nyaman dalam hidupnya. Namun apakah manusia benar-benar dapat merasa aman dan nyaman dalam kehidupan? atau adakah saatnya aman dan nyaman itu dapat diperoleh? Mari kita lihat bagaimana sikap ideal seorang muslim dalam hal ini.
Bagi seorang muslim, zona aman dalam pandangan masyarakat kapitalis adalah zona ilusi yang tidak benar-benar ada di dunia ini. Zona aman seharusnya dihindari oleh setiap muslim, sebab Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an mempertanyakan rasa aman seorang muslim dalam kehidupan. “Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang? Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Namun kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatanKu” (QS. Al-Mulk: 16-17).
Menghindari zona aman bukan berarti kita tidak layak untuk merasakannya. Namun, pada hakikatnya zona aman di dunia ini tidak benar-benar ada. Tidak ada tempat di dunia ini yang tidak mengandung bahaya. Tidak ada pula hari yang menjamin diri tidak mengalami kegundahan. Semua hal berkenaan dengan dunia bersifat serba tidak pasti kecuali sunnatullah. Oleh sebab itu, Allah ta’ala menurunkan Islam agar manusia mendapat petunjuk dan bisa menjalani hidup di jalan yang akan menghantarkan mereka ke zona aman hakiki.
Allah ta’ala tidaklah menciptakan dunia ini sebagai zona aman bagi hamba-hambaNya. Melainkan sebagai tempat persinggahan sembari mengumpulkan bekal takwa untuk menuju tempat aman yang sebenarnya yaitu, syurga yang abadi. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut, “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman” (QS. An-Nisa’:57).
Saudaraku, kegundahan, kegelisahan, kesedihan, dan sebagainya yang menimpa engkau hari ini, adalah tabiat dari rasa dunia yang fana. Oleh sebab itu, bersabarlah dengan kesabaran yang indah. Iringilah kesabaran tersebut dengan tetap istiqomah dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Bilamana engkau tidak dapati kenyamanan hidup di dunia ini, maka berprasangka baiklah kepada Allah ta’ala yang telah menyiapkan tempat terbaik dan ternyaman untuk hamba-hambaNya yang shalih di syurga. Semoga ibadah kita diterima oleh Allah dan semoga kita dikumpulkan kembali bersama keluarga dan sahabat di syurgaNya kelak, aamin ya robbal ‘alamin. Wallahu’alam bish showab.